Mengapa Kontrak Freeport Ditandatangani di Awal Orde Baru?
Tanggal: 13 Jul 2025 08:45 wib.
Penandatanganan Kontrak Karya pertama antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company (kemudian menjadi Freeport Indonesia) pada tahun 1967 seringkali menjadi topik perdebatan, terutama mengenai keuntungan dan kerugiannya bagi negara. Pada pandangan pertama, isi kontrak tersebut mungkin terlihat kurang menguntungkan bagi Indonesia jika dibandingkan dengan standar kontrak pertambangan modern. Namun, untuk memahami keputusan yang diambil oleh pemerintahan Soeharto saat itu, penting untuk menempatkannya dalam konteks politik dan ekonomi Indonesia yang sangat berbeda pada akhir tahun 1960-an.
Kondisi Ekonomi Indonesia Pasca-Orde Lama
Ketika Soeharto mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno, Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk. Inflasi mencapai ratusan persen, utang luar negeri menumpuk, infrastruktur rusak parah, dan investasi asing hampir tidak ada. Periode Demokrasi Terpimpin Soekarno cenderung anti-Barat dan nasionalistik, yang membuat investor asing enggan masuk.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memiliki agenda utama untuk menstabilkan ekonomi dan menarik investasi asing sebagai kunci pembangunan. Keterbatasan modal domestik dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan lapangan kerja serta menggerakkan perekonomian menjadi prioritas utama. Dalam kondisi ini, menarik investasi asing, bahkan dengan persyaratan yang mungkin terasa kurang ideal di kemudian hari, dianggap sebagai langkah pragmatis untuk menghidupkan kembali ekonomi yang sekarat.
Kebutuhan Modal dan Teknologi Asing
Indonesia pada tahun 1960-an sangat kekurangan modal, teknologi, dan keahlian untuk mengeksplorasi serta mengembangkan sumber daya mineral besar seperti tembaga dan emas di Papua. Penemuan cadangan mineral raksasa di Grasberg (kemudian Ertsberg) oleh Freeport adalah sebuah peluang besar, namun eksploitasinya membutuhkan investasi triliunan dolar dan teknologi pertambangan mutakhir yang tidak dimiliki Indonesia.
Freeport adalah salah satu perusahaan raksasa yang memiliki kapasitas finansial dan teknis untuk melakukan investasi sebesar itu di daerah yang terpencil dan menantang seperti Papua. Bagi pemerintah Orde Baru, penandatanganan kontrak dengan Freeport adalah cara untuk mendapatkan akses terhadap modal asing yang sangat dibutuhkan, teknologi canggih, dan keahlian manajerial tanpa harus membebani anggaran negara yang sudah defisit. Ini adalah salah satu model investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) pertama dan terbesar di era tersebut.
Persaingan Global dalam Menarik Investasi
Pada periode pasca-Perang Dunia II, banyak negara berkembang, termasuk di Asia, yang juga berusaha menarik investasi asing untuk pembangunan. Indonesia tidak sendirian dalam upaya ini. Ada persaingan global untuk mendapatkan modal dari perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam konteks persaingan tersebut, negara-negara mungkin harus menawarkan insentif atau persyaratan yang lebih fleksibel untuk menarik investor besar.
Kontrak Karya generasi pertama, seperti yang ditandatangani dengan Freeport, memang cenderung lebih menguntungkan bagi investor asing karena kondisi ekonomi global dan kebutuhan mendesak negara-negara berkembang. Model kontrak ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum dan ekonomi bagi investor yang menanamkan modal besar di negara-negara dengan risiko politik dan ekonomi yang tinggi. Indonesia, yang baru saja melalui periode ketidakstabilan politik dan memiliki reputasi yang kurang baik di mata investor asing, mungkin merasa perlu memberikan jaminan lebih untuk menarik investasi krusial ini.
Pembentukan Iklim Investasi Baru
Penandatanganan kontrak dengan Freeport pada tahun 1967 juga merupakan bagian dari upaya pemerintahan Orde Baru untuk menciptakan iklim investasi yang lebih ramah. Ini adalah sinyal kepada dunia internasional bahwa Indonesia terbuka kembali untuk investasi asing setelah era Soekarno. Kontrak ini menjadi semacam "percontohan" yang diharapkan dapat menarik investor lain ke sektor-sektor strategis di Indonesia.
Keberhasilan proyek Freeport, meskipun dengan berbagai kritik di kemudian hari, memang menunjukkan bahwa investasi asing skala besar dapat beroperasi di Indonesia. Ini membantu mengubah persepsi investor global terhadap Indonesia, membuka pintu bagi masuknya investasi di sektor lain seperti minyak dan gas, kehutanan, serta industri manufaktur.
Kontrak yang Dinamis dan Perubahan Regulasi
Penting juga untuk diingat bahwa kontrak pertambangan seperti Kontrak Karya adalah dokumen yang dinamis dan dapat direnegosiasi seiring waktu. Meskipun Kontrak Karya pertama tahun 1967 mungkin terlihat kurang menguntungkan dari perspektif sekarang, pemerintah Indonesia kemudian melakukan beberapa kali renegosiasi untuk mendapatkan porsi yang lebih besar, baik dalam bentuk royalti, pajak, maupun kepemilikan saham. Perubahan undang-undang pertambangan di Indonesia juga terus mengupayakan peningkatan nilai tambah dan keuntungan bagi negara.
Keputusan menandatangani kontrak dengan Freeport di awal era Orde Baru adalah hasil dari kalkulasi pragmatis dalam menghadapi kondisi ekonomi yang sangat sulit dan kebutuhan mendesak akan investasi asing. Meskipun kontrak tersebut memiliki kekurangan dan menjadi subjek kritik, keputusan itu dilihat sebagai langkah vital untuk menstabilkan dan menggerakkan kembali roda perekonomian Indonesia pada masanya.