Sumber foto: Canva

Mengapa di Indonesia Tenaga Pendidik Sering Disepelekan?

Tanggal: 12 Agu 2025 11:56 wib.
Profesi guru dan tenaga pendidik adalah pilar utama kemajuan suatu bangsa. Namun, di Indonesia, ironisnya, profesi ini sering kali tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Banyak guru, terutama yang bertugas di daerah terpencil atau berstatus honorer, menghadapi tantangan berat, mulai dari upah yang minim hingga beban kerja yang berlebihan. Fenomena ini menciptakan kesan bahwa tenaga pendidik bukan prioritas utama dalam pembangunan nasional. Memahami mengapa hal ini terjadi memerlukan analisis mendalam terhadap berbagai faktor, mulai dari masalah ekonomi hingga pandangan sosial yang sudah mengakar.

Isu Kesejahteraan dan Upah yang Tidak Layak

Salah satu masalah paling mendasar yang dihadapi tenaga pendidik di Indonesia adalah kesejahteraan yang rendah. Gaji guru honorer, yang jumlahnya mencapai jutaan, seringkali jauh di bawah upah minimum regional (UMR), bahkan ada yang hanya menerima beberapa ratus ribu rupiah per bulan. Kondisi ini membuat mereka harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kesenjangan upah ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap peran guru. Bagaimana seorang guru bisa fokus mendidik jika pikirannya terus terbebani oleh masalah finansial? Kesejahteraan yang minim membuat profesi guru menjadi tidak menarik bagi talenta-talenta terbaik, sehingga kualitas pendidikan di Indonesia sulit untuk berkembang secara merata. Meskipun ada upaya pemerintah melalui program sertifikasi dan pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), realitanya, implementasi masih lambat dan belum mencakup semua tenaga pendidik yang membutuhkan.

Beban Kerja dan Birokrasi yang Rumit

Di samping masalah upah, tenaga pendidik juga dibebani oleh beban kerja administratif yang berlebihan. Guru sering kali harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengurus laporan, administrasi kurikulum, dan tugas-tugas birokratis lainnya. Hal ini membuat waktu mereka untuk mempersiapkan materi ajar dan berinteraksi dengan murid menjadi terbatas.

Sistem birokrasi yang rumit dan sering berubah-ubah juga menjadi tantangan tersendiri. Para guru dituntut untuk terus mengikuti berbagai regulasi baru yang terkadang tidak praktis di lapangan. Beban ini tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga secara mental, mengurangi semangat dan kreativitas mereka dalam mengajar.

Pandangan Sosial dan Minimnya Apresiasi Publik

Secara sosial, profesi guru di Indonesia masih sering disepelekan. Meskipun secara verbal banyak orang menghormati "pahlawan tanpa tanda jasa", dalam praktiknya, profesi ini sering dianggap sebagai pilihan terakhir atau pekerjaan yang tidak menjanjikan. Persepsi ini terutama kuat di kalangan masyarakat yang memandang kesuksesan hanya dari sisi materi.

Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju, di mana profesi guru sangat dihormati dan diganjar dengan upah serta fasilitas yang sepadan. Di sana, guru dipandang sebagai profesional yang berharga dan memiliki peran vital dalam membentuk masa depan. Minimnya apresiasi publik di Indonesia ini berimbas pada harga diri para pendidik dan mengurangi daya tarik profesi ini di mata generasi muda.

Kurangnya Investasi dan Kebijakan yang Tidak Tepat

Pemerintah seringkali mengalokasikan anggaran pendidikan yang besar, namun investasi yang tepat sasaran pada guru masih menjadi PR besar. Banyak dana yang terserap untuk pembangunan fisik atau program-program lain yang kurang menyentuh langsung kesejahteraan guru dan pengembangan profesional mereka.

Kebijakan pendidikan yang sering berubah juga menciptakan ketidakstabilan. Kurikulum yang terus berganti tanpa pelatihan yang memadai bagi guru membuat mereka harus beradaptasi terus-menerus. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan belum sepenuhnya berpihak pada guru sebagai ujung tombak.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved