Mangkrak dan Sepi Penumpang, Proyek Bus Trans di Kota Kecil Gagal Jadi Solusi Transportasi?
Tanggal: 8 Mei 2025 10:24 wib.
Tampang.com | Ambisi menghadirkan transportasi publik modern seperti TransJakarta ke kota-kota kecil di Indonesia tak selalu berbuah manis. Beberapa proyek bus rapid transit (BRT) lokal justru terbengkalai, mangkrak, atau hanya beroperasi seadanya dengan jumlah penumpang yang sangat minim.
Contoh Kota: Solo, Palembang, dan Madiun
Bus Trans Solo (BST), misalnya, sempat digadang menjadi solusi kemacetan. Namun di lapangan, banyak halte rusak, jalur tidak eksklusif, dan frekuensi bus tidak teratur. Penumpang akhirnya kembali ke kendaraan pribadi atau ojek online.
Hal serupa juga terjadi di Palembang, di mana bus Trans Musi beroperasi dengan armada terbatas dan kerap kosong. Beberapa koridor bahkan dihentikan karena minimnya subsidi dan rendahnya okupansi.
Biaya Tinggi, Manfaat Minim
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2024, banyak proyek BRT di daerah yang menyedot dana ratusan miliar tapi tidak memenuhi target pelayanan publik. Hal ini disebabkan oleh perencanaan yang kurang matang, minim kajian kebutuhan pengguna, dan tidak adanya integrasi dengan moda lain.
“Banyak kota meniru TransJakarta tanpa menyesuaikan dengan kondisi lokal,” ujar Ir. Mahmud Farhan, pakar transportasi dari ITS.
Kurangnya Sosialisasi dan Infrastruktur Pendukung
Warga yang tinggal di pinggiran kota kecil seringkali tidak mengetahui keberadaan atau rute bus Trans. Bahkan, halte yang dibangun dibiarkan rusak atau tidak difungsikan dengan baik. Akses ke halte juga tidak ramah pejalan kaki atau pesepeda.
Dampak: Ketergantungan pada Kendaraan Pribadi Tak Kunjung Berkurang
Kegagalan optimalisasi BRT di daerah membuat ketergantungan terhadap sepeda motor dan mobil pribadi tetap tinggi. Ini berdampak pada kemacetan dan polusi udara yang terus meningkat, bahkan di kota kecil yang dulu relatif lengang.
Solusi: Perlu Desain Transportasi yang Berbasis Kebutuhan Warga
Perlu pendekatan baru yang berbasis pada riset mobilitas warga lokal, bukan hanya menyalin model dari ibu kota. Selain itu, kolaborasi dengan ojek daring, penguatan rute feeder, dan digitalisasi rute dapat meningkatkan minat warga untuk beralih ke transportasi publik.
Kesimpulan
Transportasi publik seharusnya jadi hak semua warga kota, bukan hanya simbol proyek pemerintah. Tanpa perencanaan yang adaptif dan pendekatan jangka panjang, proyek bus Trans di daerah hanya akan jadi monumen kosong di pinggir jalan.