Sumber foto: Google

Mal dan Superblok Terus Tumbuh, Rakyat Kecil Makin Tergeser?

Tanggal: 11 Mei 2025 07:56 wib.
Tampang.com | Dalam beberapa tahun terakhir, wajah kota-kota besar di Indonesia makin didominasi oleh deretan mal, apartemen mewah, dan superblok. Sementara itu, kampung-kampung kota yang sudah puluhan tahun berdiri mulai tergusur. Di balik euforia modernisasi, muncul pertanyaan serius: untuk siapa sebenarnya kota dibangun?

Pembangunan Masif, Tapi Tak Merata

Pemerintah daerah kerap beralasan bahwa pembangunan mal dan superblok membawa investasi dan menyerap tenaga kerja. Namun, studi urban planning menunjukkan bahwa pembangunan seperti ini cenderung memperbesar ketimpangan ruang dan ekonomi.

“Superblok memang terlihat megah, tapi mengorbankan ruang terbuka hijau dan mempersempit akses warga kelas bawah ke fasilitas publik,” kata Rizal Satria, pakar tata kota dari UGM.

Ia menambahkan bahwa pembangunan kerap hanya mempertimbangkan nilai ekonomi, tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis terhadap warga sekitar.

Gentrifikasi dan Penggusuran Diam-Diam

Warga di daerah padat seperti Jakarta Selatan, Bandung, dan Surabaya mulai merasakan dampak nyata dari proyek-proyek besar. Banyak yang digusur secara halus, lewat pengosongan lahan, penghapusan izin usaha, atau intimidasi tidak langsung dari pengembang.

“Kami diminta pindah karena dianggap mengganggu estetika kawasan elit yang akan dibangun. Padahal ini tanah nenek moyang kami,” ungkap Mulyani, warga kawasan Cikini yang rumahnya terancam digusur.

Fenomena ini dikenal sebagai gentrifikasi, yaitu proses ketika kawasan tradisional disulap menjadi area elit, lalu dihuni oleh kalangan atas, dan warga lama kehilangan hak tinggal.

Ruang Publik Menyusut, Kota Jadi Milik Elit

Ruang terbuka hijau dan area publik yang seharusnya menjadi hak bersama kini semakin terbatas. Banyak ruang hijau dikomersialisasi menjadi pusat belanja atau hunian privat. Padahal kota ideal adalah kota yang inklusif dan ramah untuk semua kelas sosial.

“Kita kekurangan taman kota, jalur pejalan kaki, dan ruang berkumpul gratis. Tapi kita kebanjiran tempat konsumsi dan menara beton,” ujar Rizal.

Kota-kota modern Indonesia justru bergerak menjauh dari prinsip kota berkeadilan sosial, karena hanya melayani kepentingan pemodal besar.

Solusi: Revisi Tata Ruang dan Proteksi Warga Lokal

Pengamat perkotaan menekankan pentingnya revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan pendekatan partisipatif. Warga lokal harus dilibatkan dalam perencanaan kota, dan diberikan proteksi hukum terhadap penggusuran.

“Pembangunan harus inklusif. Jangan jadikan kota sebagai mesin uang yang menggilas warganya sendiri,” tegas Rizal.

Pemerintah juga perlu memperkuat fungsi ruang publik, menambah RTH (Ruang Terbuka Hijau), dan membatasi izin untuk proyek yang tidak menyumbang nilai sosial bagi masyarakat.

Modernisasi Tak Boleh Menghapus Kemanusiaan

Kemajuan infrastruktur kota seharusnya tidak mengorbankan hak-hak dasar warga. Kota yang ideal bukan yang tinggi gedungnya, tapi yang luas ruang sosialisasinya dan adil dalam mengakomodasi semua lapisan masyarakat.

“Kalau kota dibangun hanya untuk segelintir orang, maka itu bukan pembangunan—itu penyingkiran,” tutup Rizal.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved