Main Hakim Sendiri Meningkat, Cermin Ketidakpercayaan Warga terhadap Hukum?
Tanggal: 7 Mei 2025 10:11 wib.
Tampang.com | Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena main hakim sendiri atau tindakan kekerasan oleh warga terhadap pelaku kejahatan tanpa melalui proses hukum semakin sering terjadi. Dari pelaku pencurian hingga tindakan yang hanya berbasis kecurigaan, massa kerap bertindak brutal — bahkan hingga menyebabkan kematian.
Menurut laporan Komnas HAM tahun 2024, tercatat lebih dari 300 kasus main hakim sendiri terjadi di Indonesia, sebagian besar di wilayah urban dan semi-urban. Ini menjadi pertanyaan besar: mengapa warga lebih memilih kekerasan ketimbang menyerahkan ke pelaku ke tangan aparat hukum?
Faktor Utama: Rendahnya Kepercayaan terhadap Penegak Hukum
Banyak ahli menilai bahwa ketidakpercayaan terhadap proses hukum menjadi faktor utama. Dalam beberapa kasus, masyarakat merasa polisi lamban, atau pelaku yang sudah ditangkap justru kembali berkeliaran. Hal ini memicu rasa frustasi dan keinginan untuk ‘menghukum’ secara langsung.
“Kalau dilaporin ke polisi, ujung-ujungnya damai atau pelaku nggak dihukum berat. Jadi warga merasa lebih puas kalau bertindak sendiri,” kata Indra, warga Bekasi yang pernah menyaksikan langsung aksi main hakim sendiri di lingkungannya.
Budaya Vigilantisme yang Mengakar
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Lusi Kartika, menyebut fenomena ini sebagai bentuk vigilantisme — yaitu ketika warga mengambil alih fungsi hukum karena merasa negara gagal melindungi mereka. Pola ini banyak terjadi di negara berkembang, terutama ketika keadilan formal dianggap mahal, lambat, dan tidak berpihak pada rakyat kecil.
“Ini bukan sekadar soal marah atau emosi sesaat. Ada akar sosial dan historis yang panjang di balik tindakan semacam itu,” ujarnya.
Risiko Fatal dan Pelanggaran HAM
Meski sering dianggap sebagai ‘jalan pintas’ oleh warga, main hakim sendiri adalah pelanggaran hukum. Aksi ini bisa berujung pada pidana berat, bahkan masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi jika korban salah sasaran, atau kekerasan terjadi tanpa bukti kuat atas dugaan tindak kejahatan.
Polisi pun mengingatkan masyarakat agar tidak terpancing emosi. “Kita punya mekanisme hukum yang jelas. Jika ada pelaku kejahatan, serahkan pada kami. Jangan melakukan kekerasan karena bisa berujung pada tuntutan pidana,” tegas Kabid Humas Polda Metro Jaya dalam konferensi pers April 2025 lalu.
Solusi: Perbaikan Sistem dan Edukasi Hukum
Menghadapi tren ini, langkah solutif harus menyasar dua arah: perbaikan sistem penegakan hukum agar lebih transparan dan responsif, serta edukasi publik tentang risiko main hakim sendiri dan pentingnya menempuh jalur hukum.
Pemerintah juga perlu menguatkan kehadiran aparat di tingkat RT/RW serta meningkatkan dialog sosial, sehingga rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum bisa dipulihkan.