Mahasiswa Mengajukan Uji Materiil atas Pasal 70 UU Pilkada, Minta Presiden-Menteri Dilarang Kampanye
Tanggal: 29 Jul 2024 23:18 wib.
Dua mahasiswa telah mengajukan uji materiil atas Pasal 70 Ayat (1) huruf b UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berharap MK menambahkan norma larangan kampanye untuk presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, serta kepala badan negara. Salah satu penggugat, Fauzi Muhamad Azhar, menegaskan bahwa larangan tersebut diharapkan dapat mencegah pejabat dari melakukan kampanye dengan cara yang tidak etis seperti yang terjadi pada Pilpres 2024.
Pada sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/7), Fauzi menyampaikan harapannya agar tidak ada keterlibatan atau kegaduhan yang mungkin terjadi. Ia mengungkapkan keinginannya untuk melarang kampanye antara presiden, menteri, wakil menteri, serta pemangku jabatan lainnya yang dianggap strategis untuk posisi tersebut. Fauzi menyatakan keprihatinannya bahwa adanya kampanye yang tidak etis ini dapat memicu reaksi masyarakat yang akan dihadapkan pada realita kehidupan yang akan terjadi dalam Pilkada 2024 mendatang.
Pasal 70 Ayat (1) huruf b dalam UU Pilkada saat ini hanya mengatur larangan kampanye untuk aparatur sipil negara (ASN), anggota polisi, dan TNI. Menurut para penggugat, aturan tersebut tidaklah cukup lengkap. Viktor Santosa Tandiasa, kuasa hukum mereka, menjelaskan bahwa melibatkan penyelenggara negara seperti presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, serta kepala badan atau lembaga negara dalam kontestasi pemilu dapat menimbulkan berbagai persoalan. Misalnya, ada potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan jabatan untuk melakukan kampanye terkait kementerian masing-masing. Selain itu, ada juga risiko pelanggaran etika saat bertindak sebagai peserta kampanye. Meskipun pejabat yang bersangkutan telah mengambil cuti, tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk mendapat akses atau perlakuan yang berbeda dengan peserta yang tidak mendapat dukungan penyelenggara negara.
Viktor menyatakan bahwa larangan kampanye bagi pejabat presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, serta kepala badan atau lembaga negara tidak akan melanggar hak politik mereka dalam penyelenggaraan pilkada untuk memilih. Menurutnya, pembatasan tersebut dapat dilakukan demi menjaga wibawa para penyelenggara negara.
Ketua MK, Suhartoyo, memberikan beberapa masukan kepada para pemohon. MK memberi kesempatan perbaikan atau pelengkapan permohonan hingga Senin, 12 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB. Seiring dengan tahapan Pilkada 2024 yang telah dimulai, pendaftaran pasangan calon dibuka pada 27-29 Agustus 2024, dan pemungutan suara dijadwalkan digelar serentak pada 27 November 2024.
Para mahasiswa ini mengajukan uji materiil atas Pasal 70 Ayat (1) huruf b UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena ingin menambahkan norma larangan kampanye untuk presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, serta kepala badan negara. Mereka berharap larangan ini dapat mencegah praktik kampanye yang tidak etis dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara dalam kontestasi pemilu seperti Pilkada 2024. Seiring dengan perkembangan politik dan pesta demokrasi di Indonesia, perlunya aturan yang lebih komprehensif untuk mengatur partisipasi pejabat negara dalam proses pemilihan umum menjadi hal yang mendesak.
Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berkualitas dan jujur, di mana setiap pemilihan umum harus dilaksanakan secara adil dan bebas dari pengaruh atau intervensi yang tidak seharusnya oleh pejabat negara yang terlibat dalam penyelenggaraan negara. Karenanya, penambahan norma larangan kampanye bagi pejabat negara yang strategis dalam UU Pilkada diharapkan dapat menjadi langkah yang memperkuat integritas dan transparansi dalam proses politik di Indonesia.
Dalam konteks UU Pilkada, Pasal 70 Ayat (1) huruf b yang mengatur larangan kampanye hanya untuk aparatur sipil negara (ASN), anggota polisi, dan TNI masih dianggap kurang memadai untuk mengontrol dan mencegah keterlibatan pejabat negara yang lebih tinggi dalam proses pemilihan umum seperti Pilkada. Meskipun aturan ini sudah ada, namun dalam prakteknya masih terdapat celah-celah bagi pejabat negara lain untuk melakukan kampanye yang tidak etis serta berpotensi memanfaatkan kekuasaan dan sumber daya publik untuk kepentingan politik pribadi atau golongan.
Dalam pernyataannya, Fauzi Muhamad Azhar, salah satu penggugat, menyampaikan keprihatinannya terhadap potensi cawe-cawe atau kampanye yang tidak etis yang dapat menimbulkan polemik dan kegaduhan di masyarakat, khususnya terkait Pilpres 2024. Pada prinsipnya, aturan yang komprehensif mengenai larangan kampanye bagi pejabat negara dalam proses pemilihan umum menjadi suatu keharusan untuk menjaga integritas dan netralitas penyelenggara negara dalam konteks pesta demokrasi.
Dalam pandangan hukum, perlindungan terhadap proses pemilihan umum juga meliputi upaya untuk mencegah adanya campur tangan atau intervensi dari pejabat negara yang dapat mengarah pada praktik-praktik politik yang tidak etis atau bahkan pertentangan kepentingan. Hal ini tidak hanya mendasarkan pada asas keadilan dan kepatutan dalam proses pemilihan umum, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak politik masyarakat untuk memilih tanpa ada pengaruh yang tidak seharusnya dari pejabat negara.
Keberadaan aturan yang komprehensif dalam UU Pilkada yang melarang kampanye bagi pejabat negara yang strategis juga sejalan dengan prinsip-prinsip good governance dan prinsip-prinsip demokrasi yang berkualitas. Aturan ini dapat membantu dalam menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik, di mana penyelenggara negara harus dapat menjunjung tinggi netralitas dan profesionalitas dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Seiring dengan itu, aturan yang memperluas larangan kampanye bagi pejabat negara yang strategis juga dapat menjadi fondasi dalam meminimalisir praktik politik yang kurang etis serta mencegah adanya penyalahgunaan posisi dan kekuasaan demi kepentingan politik pribadi atau golongan.
Dalam konteks ini, peran dari Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam proses pembuatan aturan terkait pemilihan umum. Keputusan yang dihasilkan oleh MK atas permohonan uji materiil terkait Pasal 70 Ayat (1) huruf b UU Pilkada akan menjadi acuan dalam menegakkan aturan yang lebih komprehensif dan memperkuat integritas serta transparansi dalam proses politik di Indonesia.
Selain itu, rekomendasi dari MK juga akan menjadi landasan bagi pembuat kebijakan dalam memperkuat regulasi terkait partisipasi pejabat negara dalam proses pemilihan umum di masa mendatang. Sejalan dengan itu, penambahan norma larangan kampanye bagi pejabat negara yang strategis dalam UU Pilkada juga dapat menjadi salah satu langkah konkret dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi yang berkualitas, transparan, dan j