Lawson Menutup Ratusan Gerai di Indonesia

Tanggal: 22 Mei 2025 10:05 wib.
Di tanah kelahirannya, Jepang, Lawson menjelma menjadi raksasa minimarket yang menjadi simbol kehidupan sehari-hari masyarakat kota. Ditandai dengan logo kaleng susu yang ikonis, Lawson tidak hanya berfungsi sebagai tempat belanja kebutuhan sehari-hari, tetapi juga membawa banyak sejarah yang manis. Toko pertamanya didirikan oleh James "J.J." Lawson di Ohio, Amerika Serikat, pada tahun 1939, dan awalnya hanya menjual susu segar. Kini, Lawson telah berkembang menjadi jaringan minimarket terbesar kedua di Jepang setelah 7-Eleven, dengan lebih dari 11 ribu gerai yang tersebar di seluruh Jepang.

Namun, tak semua cerita indah dapat bertahan ketika dikembalikan ke kampung halaman di luar Jepang. Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi Lawson di Indonesia.

PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI), yang merupakan anak perusahaan dari Grup Alfamart, bertanggung jawab dalam mengelola operasional Lawson di Indonesia. Pada tahun 2023, Lawson sempat mengoperasikan sebanyak 674 gerai—suatu angka yang terlihat menjanjikan di antara persaingan ketat pasar ritel di Indonesia. Namun, dalam waktu yang singkat, tepatnya hanya dalam setahun, jumlah gerai tersebut merosot tajam. Sebanyak 300 gerai harus ditutup, menyisakan hanya 374 yang bertahan hingga tahun 2024.

Penutupan sebanyak 300 gerai ini berkontribusi pada pengurangan sekitar 45 persen dari total gerai yang ada, sebuah angka yang sangat signifikan bagi sebuah merek yang telah memantapkan identitasnya selama lebih dari satu dekade di Indonesia.

Dalam laporan keuangan yang dirilis oleh MIDI, terlihat jelas bahwa kinerja Lawson jauh di bawah harapan awal. Kerugian operasional yang tercatat mencapai Rp236 miliar pada tahun 2024, jumlah tersebut bahkan melebihi proyeksi awal yang telah ditentukan. Selain itu, pertumbuhan penjualan di toko yang sejenis mengalami angka negatif selama tujuh kuartal berturut-turut sejak tahun 2023.

Dari sisi kontribusi, Lawson hanya mampu menyumbang sekitar 6,8 persen dari total pendapatan MIDI, yang jauh tertinggal dari Alfamidi yang berkontribusi lebih dari 88 persen. Dalam situasi tekanan ekonomi yang semakin berat, perubahan perilaku konsumen, serta persaingan yang sangat ketat, keberadaan Lawson menjadi beban berat yang sulit untuk ditanggung lagi.

Kondisi ini menyebabkan MIDI mengambil langkah besar: menarik diri sebagai pengelola Lawson di Indonesia.

Pada tanggal 14 Mei 2025, melalui pengumuman terbuka di Bursa Efek Indonesia, MIDI menyatakan bahwa mereka telah mengalihkan 1,48 miliar saham PT Lancar Wiguna Sejahtera, yang merupakan anak usaha yang mengelola Lawson, kepada PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), sebagai induk dari Alfamart. Nilai transaksi tersebut mencapai Rp200,45 miliar, atau setara dengan Rp135 per saham.

Bagi sebagian pengamat, langkah ini bukan hanya sekadar langkah untuk efisiensi operasional. Ini tampak sebagai bentuk rasionalisasi portofolio, pengalihan fokus, dan ikhtiar untuk menyelamatkan bisnis yang mungkin sudah terlalu berisiko.

Sementara itu, bagi para pelanggan setia Lawson, penutupan ini menjadi kehilangan yang berarti. Keberadaan gerai Lawson yang menyediakan oden hangat, kopi kemasan eksklusif, atau nuansa khas Jepang di dalam toko kelontong telah menjadi bagian dari rutinitas mereka.

 Lawson gagal di Indonesia sementara di negara asalnya sangat berhasil?

Ada beberapa faktor kunci yang patut dicermati:

1. Pasar yang Terlalu Padat: Persaingan di pasar minimarket Indonesia sangat intens, dengan dua pemain lokal dominan, Indomaret dan Alfamart, yang membuat ruang untuk pemain baru semakin sempit, meskipun itu merupakan merek asal Jepang.

2. Model Bisnis yang Tak Fleksibel: Lawson hadir dengan identitas khas Jepang, namun mungkin terlalu "premium" bagi konsumen lokal yang lebih pragmatis dan sangat memperhatikan harga.

3. Lokasi dan Target Market yang Kurang Tepat: Banyak gerai Lawson yang berada dalam lokasi yang kurang strategis, seperti konsep store-in-store, yang jelas mempengaruhi volume kunjungan dan total omzet.

4. Kurangnya Diferensiasi Nyata: Meski mengusung tema Jepang, banyak produk yang ditawarkan Lawson sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dijual oleh pesaing lokal, sehingga kurang memberikan daya tarik tersendiri.

Kisah Lawson di Indonesia menjadi pelajaran berharga bagi para pelaku bisnis bahwa merek yang kuat sekalipun dapat mengalami kesulitan jika tidak beradaptasi dengan baik terhadap kondisi pasar lokal. Tidak semua hal yang sukses di negara asal dapat diterima dengan baik di pasar lain, terutama di negara dengan dinamika ritel yang cepat berubah seperti Indonesia.

 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved