Kurikulum Sering Berganti, Sistem Pendidikan Nasional Dinilai Tak Konsisten!
Tanggal: 11 Mei 2025 09:50 wib.
Tampang.com | Pemerintah kembali menggulirkan perubahan kurikulum nasional, kali ini dengan konsep Merdeka Belajar yang lebih fleksibel dan menekankan pada pembelajaran kontekstual. Namun, pergantian kurikulum yang terlampau sering justru menimbulkan kebingungan di kalangan guru, siswa, dan orang tua. Pertanyaannya: apakah perubahan ini benar-benar menyentuh akar persoalan pendidikan di Indonesia?
Terlalu Sering Ganti Kurikulum, Dunia Pendidikan Tak Stabil
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah mengalami lebih dari lima kali pergantian kurikulum, mulai dari KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka. Setiap perubahan membawa beban baru dalam pelatihan guru, revisi buku, dan adaptasi di lapangan.
“Kurikulum seolah jadi proyek kebijakan, bukan solusi jangka panjang. Kita terlalu sibuk mengejar bentuk, lupa pada esensi belajar,” ujar Lestari Wulandari, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang.
Ketimpangan Antarsekolah Masih Jadi Masalah Utama
Meski kurikulum baru dirancang fleksibel, implementasinya tidak merata. Sekolah di perkotaan cenderung lebih siap dengan teknologi dan tenaga pendidik, sementara sekolah di pelosok tertinggal dalam sumber daya dan akses pelatihan.
“Guru di daerah kadang tidak tahu harus mulai dari mana. Kurikulum berubah, tapi fasilitas tetap minim,” tambah Lestari.
Evaluasi Berbasis Data Masih Lemah
Reformasi pendidikan sering dilakukan tanpa analisis mendalam atas efektivitas kurikulum sebelumnya. Hasil asesmen nasional maupun PISA menunjukkan capaian literasi dan numerasi siswa Indonesia masih stagnan, bahkan menurun di beberapa wilayah.
“Kita seperti jalan di tempat. Tanpa evaluasi berbasis data, perubahan kurikulum hanya akan jadi rutinitas yang sia-sia,” kritik Lestari.
Solusi: Stabilitas Kebijakan dan Peningkatan Kualitas Guru
Para ahli menekankan pentingnya konsistensi kebijakan pendidikan lintas rezim, serta fokus utama pada kualitas guru dan metode pengajaran, bukan sekadar struktur kurikulum. Pendidikan harus berpihak pada siswa, bukan proyek politik.
“Kalau ingin perubahan nyata, mulailah dari peningkatan kapasitas guru dan kesetaraan akses belajar,” pungkas Lestari.