KUHP Baru: Terpidana Hukuman Mati Dapat Kesempatan Hidup Lewat Masa Percobaan 10 Tahun
Tanggal: 9 Apr 2025 22:49 wib.
Tampang.com | Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa penerapan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tidak lagi bersifat mutlak dan langsung dieksekusi. KUHP yang telah diperbarui memberikan ruang kemanusiaan berupa masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana hukuman mati.
Hukuman Mati Kini Dilengkapi Masa Percobaan
Dalam pernyataannya, Yusril menyebut bahwa Pasal 99 dan 100 KUHP memberikan opsi kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Bila selama masa tersebut terpidana menunjukkan penyesalan serta perubahan perilaku secara signifikan, maka pidana mati tersebut bisa diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
“Presiden diberikan wewenang untuk mengubah pidana mati menjadi seumur hidup jika terpidana menunjukkan perbaikan sikap,” jelas Yusril, Rabu (9/4/2025).
Jaksa Wajib Berikan Alternatif Tuntutan
Salah satu perubahan penting dalam KUHP baru adalah kewajiban jaksa untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif jenis hukuman lainnya. Misalnya, hukuman penjara seumur hidup, sehingga majelis hakim dapat mempertimbangkan hukuman yang lebih proporsional terhadap kasus yang dihadapi.
Eksekusi Hanya Jika Grasi Ditolak
Yusril menekankan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak bisa dilakukan secara otomatis. KUHP baru mengatur bahwa pidana mati hanya boleh dieksekusi setelah Presiden menolak permohonan grasi dari terpidana, keluarga, atau penasihat hukumnya. Ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam sistem hukum pidana nasional.
“Memohon grasi atas pidana mati bukan sekadar hak, tapi kewajiban sesuai KUHAP,” ucapnya.
Menjunjung Hak Hidup sebagai Prinsip Kemanusiaan
Pendekatan baru ini, menurut Yusril, merupakan refleksi dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai hak fundamental yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Pemerintah mengakui bahwa tidak ada sistem peradilan yang sempurna, sehingga perlu ruang untuk memperbaiki kesalahan sebelum hukuman yang tidak bisa ditarik kembali dijatuhkan.
“Hakim dan pemerintah hanyalah manusia yang bisa salah. Maka, harus ada ruang kontemplasi dan koreksi,” katanya.
Hukuman Mati Hanya untuk Kejahatan Ekstrem
Meskipun hukuman mati tetap eksis dalam KUHP, penerapannya akan sangat selektif. Hanya kejahatan luar biasa seperti terorisme, pembunuhan berencana berat, atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat dijatuhi hukuman ini, itupun dengan evaluasi mendalam.
Kesimpulan: Hukum yang Lebih Manusiawi dan Berkeadilan
Dengan berlakunya KUHP baru, arah kebijakan pidana Indonesia kini lebih menekankan pada rehabilitasi dan keadilan restoratif. Hukuman mati tidak lagi diperlakukan sebagai vonis final tanpa celah, tetapi sebagai bentuk hukuman paling terakhir dengan berbagai lapisan pertimbangan kemanusiaan.