Krisis Air Bersih Makin Meluas, Mengapa Infrastruktur Kita Masih Tertinggal?
Tanggal: 10 Mei 2025 12:05 wib.
Tampang.com | Memasuki pertengahan 2025, kekeringan panjang mulai dirasakan di banyak daerah. Di tengah suhu panas ekstrem dan curah hujan minim, krisis air bersih kembali menghantui jutaan warga Indonesia. Ironisnya, di tengah anggaran infrastruktur yang besar, masih banyak daerah yang tidak memiliki akses air bersih yang layak. Apa yang sebenarnya salah dengan tata kelola air kita?
Sumur Mengering, PDAM Tak Menjangkau
Dari data BNPB, lebih dari 300 kabupaten/kota saat ini mengalami kekeringan level sedang hingga berat. Di banyak tempat, sumur warga mengering dan pasokan dari PDAM tidak mencukupi.
“Air mati sudah tiga hari. Kami harus beli air tandon seharga Rp50 ribu per 1.000 liter,” ujar Darto, warga Pati, Jawa Tengah.
Pembangunan Lambat, Pemerataan Terhambat
Salah satu penyebab utama adalah ketimpangan infrastruktur air. Hanya sekitar 20% rumah tangga di Indonesia yang mendapatkan air langsung dari jaringan perpipaan. Sisanya mengandalkan sumber air permukaan dan sumur yang sangat rentan saat kemarau.
“Daerah-daerah dengan infrastruktur minim paling terdampak. Pemerintah pusat terlalu fokus pada proyek besar, padahal kebutuhan dasar seperti air masih banyak yang terabaikan,” kritik Retno Wibowo, peneliti kebijakan publik dari LIPI.
Kebijakan Terpusat, Respons Lambat
Distribusi kewenangan yang tidak jelas antara pusat dan daerah sering membuat respons terhadap krisis air tidak efektif. Bahkan, beberapa daerah mengaku tidak memiliki dana darurat khusus untuk mengatasi kekeringan.
“Kalau tidak ditetapkan bencana nasional, kami tidak bisa pakai dana BTT. Akhirnya hanya bisa berharap pada bantuan tanki air,” ujar salah satu pejabat BPBD di Nusa Tenggara Timur.
Kualitas Air Menurun, Kesehatan Terancam
Kekurangan air bersih bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga berdampak langsung pada kesehatan. Di beberapa wilayah, warga terpaksa menggunakan air keruh atau tercemar untuk mandi dan mencuci.
“Risiko diare, penyakit kulit, dan infeksi saluran pencernaan meningkat tajam. Ini ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat,” ujar dr. Helena Yusuf, dokter umum di Puskesmas Karawang.
Perlu Terobosan: Desentralisasi Infrastruktur dan Teknologi Alternatif
Para ahli menilai perlu ada pendekatan baru dalam pembangunan air bersih—tidak lagi terpusat, melainkan berbasis komunitas dan daerah. Teknologi alternatif seperti pemanen air hujan, sistem filtrasi murah, dan pengolahan air skala kecil bisa menjadi solusi jangka menengah.
“Kita tidak bisa terus bergantung pada PDAM dan bendungan besar. Pendekatan mikro dan partisipatif harus didorong,” kata Retno.
Air adalah Hak Dasar, Bukan Komoditas
Krisis air bersih adalah pengingat bahwa infrastruktur tidak hanya soal jalan dan gedung megah. Akses terhadap air adalah hak dasar warga yang tidak bisa ditawar.
“Kalau negara gagal menyediakan air, berarti negara gagal menjamin kehidupan. Ini seharusnya jadi prioritas, bukan hanya saat krisis,” tegas Retno.