KPK Ungkap Kerugian Awal Kasus Kuota Haji Melebihi Rp1 Triliun
Tanggal: 13 Agu 2025 09:19 wib.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkapkan hasil perhitungan awal mengenai kerugian yang dialami negara terkait dengan dugaan praktik korupsi dalam penetapan kuota serta penyelenggaraan ibadah haji oleh Kementerian Agama untuk tahun 2023 hingga 2024. Angka tersebut ternyata mencapai lebih dari Rp1 triliun, sebuah angka yang cukup mencengangkan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa evaluasi awal ini masih bersifat internal dan belum final. Kendati demikian, pihak KPK telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia untuk membahas temuan awal ini. “Kami telah berkomunikasi dengan rekan-rekan di BPK, namun ini adalah hitungan sementara. BPK akan melakukan penghitungan dengan lebih mendetail nantinya,” ungkap Budi saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada hari Senin.
Sebelumnya, KPK memulai penyidikan terkait kasus ini pada 9 Agustus 2025 setelah mendapatkan keterangan dari mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, pada tanggal 7 Agustus 2025. Pengumuman ini dilontarkan setelah KPK mendapatkan penjelasan dari pihak terkait, yang sejatinya memberikan gambaran lebih utuh mengenai potensi pelanggaran yang terjadi dalam proses pengalokasian kuota.
Sejalan dengan itu, KPK juga berencana melakukan pemanggilan ulang terhadap Yaqut Cholil Qoumas. Selain pengusutan yang dilakukan KPK, Pansus Angket Haji di DPR RI juga sebelumnya mengungkap berbagai kejanggalan dalam pelaksanaan ibadah haji di tahun 2024. Salah satu fokus utama mereka adalah terkait dengan pembagian kuota tambahan haji yang diterima dari Pemerintah Arab Saudi.
Dalam pengalokasian tersebut, Kementerian Agama dituduh telah memberikan pembagian kuota dengan cara yang dianggap tidak sesuai, yaitu 50:50 dari total 20.000 kuota tambahan. Mereka memberikan 10.000 kuota untuk haji reguler dan 10.000 kuota untuk haji khusus. Padahal, menurut Pasal 64 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, ketentuan yang tepat adalah kuota haji khusus seharusnya mendapat porsi delapan persen, sedangkan kuota haji reguler seharusnya mendapatkan 92 persen.
Kondisi ini mengindikasikan adanya kekacauan dalam pengelolaan kuota haji yang seharusnya lebih transparan dan akuntabel. Dengan kerugian awal yang diungkapkan oleh KPK, pertanyaan besar tentang integritas dan transparansi dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia pun kembali muncul ke permukaan. Aparat hukum dan pihak terkait tentu perlu memberikan penjelasan mendalam untuk menjawab keresahan publik terkait permasalahan ini.