KPK Tegaskan Tetap Berwenang Menindak Korupsi di BUMN Meski Ada UU Baru
Tanggal: 20 Mei 2025 22:34 wib.
Tampang.com | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tetap memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meskipun Undang-Undang BUMN hasil revisi telah mulai berlaku. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang juga menyebut bahwa sikap tersebut diperkuat lewat surat edaran internal bagi seluruh pegawai KPK.
“Surat edaran ini diterbitkan untuk meyakinkan dan menegaskan kembali sikap KPK yang sudah kami sampaikan kepada publik sebelumnya,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Senin (19/5/2025).
Dalam surat tersebut, KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah tetap berwenang melakukan penindakan, pencegahan, pendidikan, serta koordinasi dan supervisi terkait tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN dan Danantara. Menurut Budi, Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN merupakan penyelenggara negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, sehingga kerugian yang terjadi di BUMN juga masuk kategori kerugian negara.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, sebelumnya juga menegaskan hal serupa. Ia menyatakan bahwa meski UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025 menyebut bahwa Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara dan kerugian BUMN bukan kerugian negara, KPK tetap memiliki kewenangan untuk mengusut korupsi yang dilakukan oleh mereka.
“Ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),” jelas Setyo.
Menurut Setyo, UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan menekan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena itu, KPK berpegang pada aturan tersebut dalam pelaksanaan tugasnya.
Lebih lanjut, penjelasan Pasal 9G UU BUMN dapat diartikan bahwa status Direksi dan Komisaris BUMN tetap sebagai penyelenggara negara. Dengan demikian, mereka wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.