Korupsi Ada di Mana-mana, Apa yang Membuat Manusia Jadi Rakus dan Tamak?
Tanggal: 1 Sep 2025 13:43 wib.
Korupsi seringkali dianggap sebagai penyakit kronis yang sulit disembuhkan, menjangkit berbagai sendi kehidupan, dari level teratas hingga paling bawah. Berbagai kasus yang terungkap menunjukkan betapa mudahnya kekuasaan, jabatan, dan kesempatan disalahgunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Menunjuk satu atau dua penyebab saja tidak cukup untuk memahami mengapa manusia, makhluk yang seharusnya memiliki nurani, bisa begitu mudah terjerumus dalam sifat rakus dan tamak.
Faktor Internal: Kelemahan Karakter dan Godaan Kekuasaan
Sifat dasar manusia memainkan peran sentral dalam timbulnya korupsi. Meskipun tidak semua orang terlahir rakus, ada kelemahan-kelemahan karakter yang bisa menjadi pintu masuk. Rasa kurang puas yang terus-menerus, betapapun banyaknya harta yang sudah dimiliki, adalah pemicu utama. Manusia dengan sifat ini selalu merasa tidak cukup, terus mencari lebih banyak, dan melihat kekuasaan sebagai alat untuk menumpuk kekayaan tanpa batas. Ini adalah dorongan internal yang sulit dikendalikan tanpa adanya integritas yang kuat.
Selain itu, godaan kekuasaan seringkali membutakan mata hati. Jabatan dan posisi strategis memberikan akses pada sumber daya dan otoritas yang besar. Banyak orang yang awalnya berniat baik, lambat laun terbuai oleh kemudahan yang ditawarkan oleh kekuasaan tersebut. Mereka mulai berpikir bahwa aturan bisa dibengkokkan, pengawasan bisa dielakkan, dan tindakan curang adalah cara tercepat untuk mencapai tujuan. Ketika seseorang merasa berkuasa, ia cenderung melihat dirinya di atas hukum, menganggap apa yang dilakukan adalah haknya, bukan kewajiban.
Ketiadaan integritas dan moral yang kokoh juga menjadi faktor internal yang krusial. Sistem nilai yang rapuh membuat seseorang mudah mengkompromikan prinsipnya demi keuntungan sesaat. Pendidikan formal atau gelar yang tinggi tidak selalu menjamin integritas. Pada akhirnya, semua kembali pada pilihan individu, apakah ia akan mempertahankan kejujuran di tengah godaan, atau justru menyerah pada sifat tamak yang bersembunyi.
Faktor Eksternal: Lingkungan yang Memupuk Korupsi
Lingkungan tempat manusia berada punya andil besar dalam membentuk perilaku. Korupsi tidak bisa tumbuh subur jika tidak ada ekosistem yang mendukungnya. Salah satu faktor eksternal terpenting adalah sistem hukum dan penegakan yang lemah. Ketika hukuman untuk koruptor tidak setimpal, proses hukum bertele-tele, atau ada celah yang mudah dimanfaatkan, maka tidak ada efek jera yang berarti. Koruptor akan merasa aman dan berani melakukan aksinya karena risiko yang dihadapi jauh lebih kecil daripada keuntungan yang didapat.
Budaya juga memainkan peran yang tidak bisa diabaikan. Ketika budaya materialisme dan konsumerisme merajalela, di mana nilai seseorang diukur dari kekayaan dan barang mewah yang dimiliki, maka tekanan untuk menjadi kaya dengan cara apa pun akan sangat tinggi. Seseorang yang hidup dalam lingkungan seperti ini mungkin merasa terdorong untuk korupsi agar tidak dianggap gagal atau tertinggal dari orang lain. Norma sosial yang menganggap "wajar" atau "lumrah" jika pejabat mengambil sedikit dari uang negara, juga memperparah kondisi.
Selain itu, gaji yang tidak memadai seringkali dijadikan alasan, meskipun bukan pembenar, bagi tindakan korupsi. Dalam sistem yang tidak adil, di mana gaji tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab, seseorang mungkin merasa terdorong untuk mencari "tambahan" dari sumber lain. Ditambah dengan kurangnya pengawasan internal maupun eksternal, kesempatan untuk berbuat curang semakin terbuka lebar. Ketika tidak ada yang melihat atau tidak ada yang berani melaporkan, tindakan korupsi bisa terus berlanjut tanpa hambatan.
Sinergi Antara Internal dan Eksternal: Lingkaran Setan Korupsi
Paling berbahaya, sifat rakus dan tamak pada manusia seringkali tidak muncul secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari sinergi antara faktor internal dan eksternal. Seseorang dengan kelemahan karakter akan lebih mudah tergoda jika berada di lingkungan yang korup. Sebaliknya, sistem yang buruk akan terus menghasilkan koruptor baru jika tidak ada individu yang berani menolak dan mengubahnya. Ini adalah sebuah lingkaran setan yang sulit diputus.
Sifat tamak membuat seseorang merasa berhak atas kekayaan yang bukan miliknya, dan lingkungan yang lemah penegakan hukumnya menyediakan kesempatan emas untuk mewujudkan kerakusan itu. Sifat ini juga menciptakan lingkaran korupsi di mana satu tindakan suap atau gratifikasi akan memicu tindakan lainnya. Seseorang yang menerima suap, misalnya, bisa jadi akan menyuap atasan untuk menghindari sanksi, atau menyuap bawahan untuk menyembunyikan kejahatan.