Sumber foto: Google

Konflik Agraria Masih Marak, Rakyat Terus Terpinggirkan oleh Kuasa Korporasi!

Tanggal: 17 Mei 2025 14:17 wib.
Tampang.com | Konflik agraria di Indonesia seolah tak kunjung memiliki akhir. Dari Sumatera hingga Papua, kasus perampasan lahan dan sengketa tanah terus terjadi, memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dan petani.

Petani dan Warga Adat Terusir dari Lahan Sendiri
Banyak warga mengaku terusir dari tanah yang mereka tempati turun-temurun karena konsesi diberikan kepada perusahaan perkebunan, pertambangan, atau proyek infrastruktur. Ironisnya, dokumen resmi sering kali tak berpihak kepada warga lokal.

“Lahan kami diambil untuk kebun sawit, padahal kami sudah tinggal di sini sejak nenek moyang,” ujar Ujang, warga Dayak dari Kalimantan Barat.

Negara Dinilai Absen dalam Perlindungan Hak Tanah Rakyat
LSM dan aktivis agraria menilai negara kerap memihak kepentingan korporasi dengan dalih pembangunan, tanpa memastikan hak-hak masyarakat dilindungi. Proses mediasi pun sering buntu atau tidak adil.

“Yang lemah dikorbankan atas nama investasi. Ini bukan reforma agraria, tapi represi agraria,” tegas Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Kriminalisasi Petani dan Aktivis Semakin Sering Terjadi
Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, warga yang mempertahankan tanah justru kerap dikriminalisasi. Tuduhan perusakan, penghasutan, hingga perlawanan terhadap aparat menjadi senjata untuk membungkam perlawanan.

“Sudah jatuh tertimpa tangga. Tanah diambil, lalu kami dipenjara karena dianggap mengganggu proyek,” keluh Nur, petani dari Sumatera Utara.

Solusi: Reforma Agraria Sejati, Bukan Sekadar Seremonial
Pemerintah diminta menuntaskan reforma agraria sejati, dengan redistribusi lahan secara adil dan pengakuan hak atas tanah adat. Transparansi dalam pemberian izin konsesi dan penghentian kriminalisasi juga menjadi tuntutan utama.

Tanah Adalah Hidup, Bukan Sekadar Komoditas
Ketika tanah hanya dilihat sebagai alat ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan budaya, maka konflik akan terus berulang. Negara harus hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pelindung hak warga.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved