Sumber foto: bloombergtechnoz.com

Ketua KPPU: Jargas Kota Alternatif Pengganti Subsidi LPG Rp 830 T

Tanggal: 8 Jul 2024 15:17 wib.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Fanshurullah Asa, mengungkapkan bahwa pengembangan jaringan gas (jargas) kota dianggap sebagai solusi terbaik untuk menggantikan subsidi dan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mendistribusikan gas LPG yang mencapai Rp 830 triliun. Menurut Ketua KPPU, kebijakan saat ini tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam pengembangan jargas, sementara subsidi LPG akan terus membebani anggaran pemerintah di masa depan.

Dalam upaya menghemat anggaran pemerintah, Ketua KPPU akan mendorong pemerintahan yang baru untuk berani menempuh langkah peralihan subsidi gas LPG 3 Kg kepada pembangunan jargas kota, dan secara bertahap mengurangi alokasi subsidi untuk wilayah yang telah memiliki jaringan gas tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi dengan media terkait Kinerja 100 Hari Anggota KPPU Periode 2024-2029 yang dilaksanakan pada 3 Juli 2024.

"Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berani dalam mengambil langkah strategis untuk mengganti subsidi gas LPG menjadi perluasan jaringan gas kota demi menghemat APBN, karena penggunaan subsidi saat ini tidak tepat sasaran," tegas Ifan, panggilan akrab Fanshurullah dalam keterangan resminya.

Pengembangan jargas termasuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) mengacu pada Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2018. Pengembangan jargas juga masuk dalam RPJMN 2020-2024, dimana telah ditetapkan target penggunaan jargas sampai 2024 yang mencapai 4 juta SR. Namun sayangnya realisasi jargas sampai dengan tahun 2024 hanya mencapai 20% dari target APBN. Hal ini dapat disebabkan oleh kebijakan monopoli kepada PT. Pertamina Gas Negara, Tbk. yang tidak membuka dan berhasil melibatkan BUMD dan swasta untuk melakukan investasi di jargas kota.

Keterbatasan jaringan pipa gas mengakibatkan konsumen bergantung pada LPG kemasan 3 Kg. Konsumsi LPG 3 Kg terus meningkat tiap tahun, sementara LPG (non-subsidi) stagnan dan cenderung turun serta beralih ke LPG bersubsidi. Tercatat, tingkat konsumsi LPG 3 Kg meningkat dari 6,8 juta MT di 2019 menjadi 8,07 juta MT di 2023 (tumbuh 3,3% rata-rata dalam lima tahun terakhir).

Sejalan dengan hal tersebut, biaya subsidi LPG 3 Kg terus meningkat (rata-rata tumbuh 16% selama 5 tahun), dari Rp 54,1 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 117,8 triliun di tahun 2023. Tahun ini, alokasi subsidi LPG sebesar Rp 87,5 triliun. Sehingga sejak tahun 2019, total subsidi yang diberikan pemerintah untuk gas sudah mencapai Rp 460,8 triliun. Dengan mayoritas LPG berasal dari impor, maka prediksi total nilai impor LPG selama periode 2019-2023 mencapai Rp 288 triliun. Dengan membandingkan total biaya subsidi LPG dan nilai impor tersebut, maka rasio biaya impor LPG mencapai 77% dari total subsidi LPG. Jika digabung dengan subsidi tahun ini, total biaya subsidi dan nilai impor tersebut mencapai Rp 833,8 triliun.

Besaran ini sangat signifikan karena mencerminkan devisa yang hilang serta opportunity loss yang substansial, terutama apabila dapat digunakan untuk pembangunan dan pengembangan jargas kota. Tanpa ada perubahan signifikan dalam kebijakan jargas, subsidi LPG akan terus membebani anggaran Pemerintah ke depannya. Dengan menggunakan sebagian dana subsidi LPG untuk pembangunan jargas kota, dapat dibangun jutaan sambungan rumah (SR) dalam periode 5 tahun. Peralihan ini akan berdampak signifikan terhadap penurunan impor LPG dan penghematan devisa bagi negara.

Ketua KPPU juga berpendapat bahwa skema jargas dapat dikembalikan lagi ke skema APBN yang pernah dilaksanakan sejak tahun 2011-2019 dan berhasil mencapai sekitar 600 ribu SR. Serta menyetop penggunaan APBN untuk pembangunan pipa transmisi yang tidak ekonomis secara sisi permintaan. "Ruas-ruas tersebut berdekatan dengan industri, antara lain Kawasan Industri Kendal, Kilang Batang, Kilang Balongan, dan Kilang Patimban, sehingga dipastikan akan menarik banyak minat investasi BUMN, BUMD, atau swasta untuk pembiayaan pembangunannya. Jadi APBN dapat digunakan pada proyek strategis nasional yang lebih tepat untuk mewujudkan energi berkeadilan," jelas Ifan.

Lebih lanjut, untuk menunjang adopsi penggunaan jargas tersebut, diperlukan kebijakan alokasi gas dari sisi hulu ke distribusi yang transparan oleh Kementerian ESDM. Dengan kebijakan yang transparan, resiko ketidakpastian pasokan bagi pelaku usaha niaga gas akan berkurang dan pengembangan sektor hilir migas akan makin pesat.

Perimbangan harga jual jargas untuk rumah tangga dan industri kecil komersial dengan harga gas hulu juga dibutuhkan agar menarik minat investasi badan usaha swasta dan BUMD. Minat investasi ini perlu dibangun di daerah untuk mengembangkan jaringan retail gas terkoneksi dengan jaringan distribusi yang sudah berjalan dengan skema open access yang transparan dan non diskriminatif dengan pengaturan oleh BPH Migas.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif fiskal bagi badan usaha yang berminat mengembangkan jaringan pipa gas ke konsumen dengan memberikan prioritas kepada badan usaha niaga gas dan LPG yangtelah ada.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved