Kenapa Literasi Keuangan Masih Rendah di Indonesia?
Tanggal: 1 Sep 2025 13:41 wib.
Literasi keuangan adalah kemampuan seseorang untuk mengelola keuangan pribadi dengan bijak, mulai dari menabung, berinvestasi, hingga merencanakan masa depan finansial. Di Indonesia, meskipun akses terhadap layanan keuangan semakin mudah, tingkat literasi keuangan masih jauh dari ideal. Banyak masyarakat yang belum memahami konsep dasar pengelolaan uang, yang berdampak pada pengambilan keputusan finansial yang kurang tepat. Lalu, apa saja penyebab utama rendahnya literasi keuangan di Indonesia?
Pendidikan Formal yang Belum Menyeluruh
Salah satu penyebab utama adalah kurangnya pendidikan keuangan yang terintegrasi di sekolah. Sistem pendidikan formal di Indonesia, dari tingkat dasar hingga menengah, umumnya belum secara khusus mengajarkan materi tentang pengelolaan uang, investasi, atau utang. Akibatnya, banyak lulusan sekolah atau bahkan perguruan tinggi yang tidak memiliki bekal pengetahuan dasar untuk mengelola gaji pertama atau pendapatan mereka.
Pendidikan keuangan seringkali hanya didapatkan dari lingkungan keluarga atau pengalaman pribadi yang tidak selalu akurat. Padahal, dengan adanya kurikulum yang terstruktur, anak-anak dan remaja bisa belajar tentang pentingnya menabung, cara membedakan kebutuhan dan keinginan, dan risiko-risiko finansial sejak dini. Tanpa fondasi ini, mereka akan mudah terjebak dalam masalah keuangan di masa dewasa.
Budaya Konsumtif dan Kurangnya Kesadaran Menabung
Masyarakat Indonesia cenderung memiliki budaya konsumtif yang kuat. Perkembangan teknologi dan media sosial mendorong tren gaya hidup yang menekankan pada kepemilikan barang-barang terbaru. Promosi gencar dari pinjaman daring, kartu kredit, dan cicilan mudah juga semakin mempermudah akses untuk memenuhi gaya hidup ini. Akibatnya, banyak orang lebih fokus pada pengeluaran daripada pada perencanaan keuangan jangka panjang.
Selain itu, kesadaran untuk menabung atau berinvestasi masih rendah. Banyak orang menganggap menabung adalah sisa dari pendapatan, bukan prioritas utama. Sementara investasi masih dianggap sebagai sesuatu yang rumit dan hanya untuk kalangan berpenghasilan tinggi. Pola pikir ini menghambat mereka untuk membangun kekayaan dan aset, yang sangat penting untuk mencapai stabilitas finansial di masa depan.
Akses Informasi yang Belum Merata
Meskipun informasi kini mudah ditemukan di internet, akses informasi tentang keuangan masih belum merata. Sebagian besar konten edukasi finansial disajikan dalam bahasa yang rumit, penuh dengan jargon teknis yang sulit dipahami oleh masyarakat umum. Ini membuat mereka enggan untuk belajar lebih jauh.
Selain itu, informasi yang tersedia di internet juga tidak selalu akurat. Banyak promosi investasi bodong atau skema piramida yang menjanjikan keuntungan instan, dan minimnya pengetahuan membuat masyarakat mudah terjebak. Kurangnya pemahaman tentang perbedaan antara lembaga keuangan resmi dan tidak resmi juga menjadi masalah serius. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah berupaya meningkatkan literasi keuangan, namun jangkauannya masih perlu diperluas, terutama di daerah-daerah terpencil.
Ketidakpercayaan terhadap Lembaga Keuangan
Trauma masa lalu atau berita tentang kasus penipuan yang melibatkan lembaga keuangan resmi maupun ilegal telah menciptakan ketidakpercayaan di sebagian masyarakat. Banyak yang lebih memilih menyimpan uang di bawah bantal daripada di bank. Padahal, bank menawarkan keamanan dan berbagai layanan yang bisa membantu mereka mengelola uang dengan lebih baik.
Ketidakpercayaan ini juga berdampak pada rendahnya partisipasi dalam produk-produk keuangan formal seperti asuransi atau reksa dana. Masyarakat cenderung lebih memilih cara tradisional yang dirasa lebih aman, padahal produk-produk tersebut bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk melindungi aset dan merencanakan masa depan.
Kesenjangan Ekonomi dan Tuntutan Kebutuhan
Banyak masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah, menghadapi tantangan kesenjangan ekonomi dan tuntutan kebutuhan sehari-hari yang mendesak. Seringkali, pendapatan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga tidak ada sisa untuk ditabung atau diinvestasikan. Dalam kondisi ini, literasi keuangan menjadi hal yang sekunder.
Mereka mungkin sadar pentingnya menabung, tetapi realitas ekonomi tidak memungkinkan. Solusinya bukan hanya dengan edukasi, tetapi juga dengan perbaikan ekonomi secara keseluruhan yang bisa meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Meningkatkan literasi keuangan di Indonesia bukan pekerjaan satu pihak. Ini adalah upaya bersama yang membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, pendidik, dan masyarakat. Pemerintah harus mengintegrasikan pendidikan keuangan dalam kurikulum sekolah, lembaga keuangan harus menciptakan produk yang mudah dipahami dan diakses, dan masyarakat perlu proaktif untuk mencari informasi yang valid.