Keluarga Korban Keberatan Enam Terdakwa Pelaku Kekerasan di PIP Semarang Dituntut Satu Tahun
Tanggal: 6 Sep 2024 04:50 wib.
Tampang.com | Tuntutan jaksa penuntut umum terhadap enam terdakwa pelaku kekerasan di Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang pada Kamis, 5 September 2024, mendapat penolakan dari keluarga korban. Mereka merasa tuntutan satu tahun terlalu rendah dan tidak memadai sebagai upaya pembalasan dan pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah.
Ridho Rinaldo, pengacara korban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, menyatakan keberatan atas tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Menurutnya, para terdakwa seharusnya dituntut dengan hukuman maksimal sesuai dengan Pasal 351 Ayat 1 junto 55 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan. Hal ini diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban dan meminimalisir potensi pengulangan kekerasan di lembaga pendidikan pada masa mendatang.
Keluarga korban juga meminta hakim untuk memberikan vonis yang lebih berat dari tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Mereka berharap agar putusan pengadilan dapat mempertimbangkan rasa keadilan bagi korban sekaligus menjadi langkah dalam meminimalisir potensi kekerasan di institusi pendidikan.
Sebelumnya, seorang taruna PIP Semarang mengungkapkan bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan, bahkan mengalami cedera hingga kencing darah. Meskipun sempat pulang ke rumah pada Desember 2022 dan kembali masuk PIP pada Mei 2023, korban kembali menjadi korban kekerasan di lingkungan sekolah.
Berdasarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh korban, kekerasan pertama dialaminya adalah pada 9 Oktober 2022 ketika ia mengaku mendapat pukulan di kepala. "Menggunakan tangan terbuka di kepala dari arah atas, depan, kiri, dan kanan," demikian yang ditulis oleh korban. Selain itu, ia juga mengalami tendangan pada tulang kering kaki kanannya.
Rasa sakit dan perubahan pada bola matanya setelah kekerasan pertama, membuat korban memutuskan untuk memeriksakan kondisinya ke klinik. Namun, pada 23 Oktober 2023, korban juga mengalami kekerasan dari taruna angkatan di atasnya. Kali ini, pukulan di bagian belakang kepalanya terjadi sebanyak sepuluh kali, dengan pelaku mengenakan sarung tangan karate.
Pada 2 November 2022, korban mengalami kekerasan lagi, kali ini dari tujuh taruna di ruang fitnes. Setiap taruna bergantian memukul korban dengan siap ada yang berjaga di luar ruang gym. Akibat rentetan kekerasan yang dialaminya, korban akhirnya dijemput pulang oleh orang tuanya. Namun, setelah kembali ke PIP Semarang, korban kembali menjadi korban kekerasan.
Data-data kasus kekerasan yang terjadi di PIP Semarang ini merupakan bukti nyata bahwa tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi permasalahan serius. Selain merugikan korban secara fisik maupun mental, kekerasan di institusi pendidikan juga berpotensi menciptakan lingkungan yang tidak kondusif dan menimbulkan dampak negatif bagi proses belajar-mengajar.
Sebagai lembaga pendidikan, Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang diharapkan mampu memberikan perlindungan dan keamanan bagi seluruh civitas academica, memastikan bahwa setiap individu dapat menjalani pendidikan dengan aman tanpa rasa takut akan kekerasan atau intimidasi. Selain itu, perlindungan hukum juga harus dipastikan bagi korban kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk dalam proses penuntutan terhadap pelaku kekerasan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang memainkan peran penting dalam memberikan pendampingan hukum bagi korban kekerasan dan keluarganya. Selain itu, pihak LBH juga berperan dalam memastikan bahwa proses penuntutan terhadap pelaku kekerasan dilakukan secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.