Kejari Jakarta Pusat Sita Rp 1,8 Miliar dan Aset dalam Kasus Korupsi Proyek PDNS Kominfo
Tanggal: 23 Mei 2025 08:27 wib.
Tampang.com | Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melakukan penyitaan sejumlah barang bukti dalam penyidikan kasus korupsi proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk periode 2020-2024. Kepala Kejari Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, mengungkapkan total uang tunai yang berhasil diamankan mencapai Rp 1,8 miliar, yang berasal dari tiga tersangka utama dalam kasus ini.
“Barang bukti yang disita terdiri dari uang tunai, sertifikat tanah, lahan, kendaraan roda empat, logam mulia berupa emas, serta berbagai dokumen penting sebagai alat bukti,” jelas Safrianto di kantor Kejari Jakarta Pusat, Kamis (22/5/2025).
Selain uang dan dokumen, penyidik juga menyita tiga unit mobil milik tersangka Semuel Abrijanu Pangerapan (SAP) dan Bambang Dwi Anggono (BDA), serta 176 gram emas dari keduanya. Tujuh sertifikat hak milik tanah juga turut diamankan. Dalam penggeledahan lebih lanjut, ditemukan 55 barang bukti elektronik dan 346 dokumen terkait proyek PDNS yang diduga menjadi alat dalam praktik korupsi ini.
Safrianto menegaskan bahwa seluruh penyitaan ini sudah mendapatkan persetujuan resmi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Total anggaran proyek PDNS selama lima tahun terakhir mencapai hampir Rp 960 miliar, dengan rincian anggaran meningkat signifikan tiap tahunnya, mulai dari Rp 60,37 miliar di 2020 hingga Rp 256,57 miliar di 2024.
Kelima tersangka yang terlibat dalam perkara ini adalah Semuel Abrijanu Pangerapan, yang menjabat Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo pada 2016–2024; Bambang Dwi Anggono, Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah 2019–2023; Nova Zanda, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tahun 2020; Alfie Asman, Direktur Bisnis PT Aplikanusa Lintasarta 2014–2023; serta Pini Panggar Agusti, Account Manager PT Docotel Teknologi 2017–2021.
Kasus ini bermula dari penyimpangan pelaksanaan anggaran PDNS yang seharusnya mengikuti Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang menuntut data pemerintah dikelola mandiri tanpa bergantung pada pihak swasta. Namun, Kominfo pada 2019 justru membentuk PDNS Sementara dan mengalokasikan anggaran dengan nomenklatur yang sangat bergantung pada penyedia layanan swasta.
Dalam proses tender, para tersangka diduga telah melakukan rekayasa dengan menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang diarahkan agar hanya perusahaan tertentu yang bisa menang. Dokumen perencanaan, termasuk Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dibuat tidak sesuai aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. “Semua ini dilakukan demi meraih keuntungan pribadi para tersangka,” kata Safrianto.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan pejabat tinggi Kominfo dan menyangkut anggaran besar, yang dampaknya pada tata kelola data pemerintah serta integritas sistem pengadaan publik.