Kebijakan Impulsif Prabowo Menjadi Biang Kerok Defisit APBN

Tanggal: 15 Mar 2025 13:41 wib.
Tampang.com | Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terjadi pada Januari hingga Februari tahun 2025 disebabkan oleh kebijakan impulsif yang diemban oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam analisisnya, peneliti Seknas FITRA, Gulfino Guevarrato, menyatakan bahwa presiden tampaknya tidak mau mendengar suara kritis mengenai berbagai kebijakan irasional yang diambil, mulai dari pemangkasan anggaran hingga keberadaan Badan Pengelola Investasi Danantara serta program populis yang bernama Makan Bergizi Gratis. Sebaliknya, inisiatif tersebut dipandang telah memperburuk situasi ekonomi nasional, tercermin dari menurunnya daya beli masyarakat.

Gulfino menegaskan bahwa kebijakan pemerintah bukan meningkatkan investasi, malah membuat investor pergi, terbukti dari kepindahan modal asing yang mencapai Rp 23 triliun. Sejak pelantikan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus menunjukkan kinerja negatif. Ia menambahkan bahwa situasi lebih parah pada level rumah tangga, di mana rasio tabungan masyarakat jatuh ke titik terendah sejak tahun 2021 dan terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang merugikan banyak tenaga kerja di sejumlah daerah.

Menurut laporan Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, selama dua bulan pertama di tahun 2025, sekitar 60 ribu pekerja di seluruh Indonesia kehilangan pekerjaan mereka. Gulfino pun tak ragu untuk menyarankan Presiden Prabowo agar segera meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang berdampak buruk terhadap pelayanan publik, termasuk efisiensi anggaran yang perlu dilakukan secara hati-hati dan tidak sembarangan.

Ia menambahkan bahwa defisit APBN pada awal tahun 2025 sudah mencapai Rp 31 triliun, atau sekitar 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini menjadi masalah serius, apalagi ketika sektor pajak, yang sudah lama menjadi penyokong utama pendapatan negara, menunjukkan penurunan yang cukup mencolok. Pendapatan pajak sepanjang Februari 2025 hanya mencapai Rp 187,8 triliun, menurun sebanyak 30 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 269 triliun.

Gulfino menunjukkan bahwa jika compare pendapatan negara pada bulan yang sama di 2024, maka sudah seharusnya angka itu sudah mencapai Rp 400,4 triliun, setara dengan 14 persen dari total APBN 2024. Namun, di tahun 2025, pendapatan negara pada Februari hanya menyentuh Rp 316,9 triliun, menurun hingga 20,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dalam konteks ini, Gulfino melanjutkan kritiknya terhadap pemangkasan anggaran yang mencapai Rp 306,7 triliun. Ironisnya, hasil dari pemangkasan tersebut tidak diinvestasikan untuk kebutuhan produktif, melainkan dialokasikan untuk Badan Pengelola Investasi Danantara dan program Makan Bergizi Gratis. 

Gulfino mengecam, "Defisit APBN jelas merupakan akibat dari kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran yang dibilang impulsif. Ambisi untuk berkuasa disertai lemahnya peran oposisi membuat kekuasaan dijalankan secara sembrono."

Sementara itu, Kementerian Keuangan berpendapat bahwa penurunan pendapatan pajak pada bulan Januari tidak dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya sejumlah kebijakan baru seperti Tarif Efektif Rata-Rata (TER), relaksasi pajak, dan restitusi yang memengaruhi angka tersebut. Kementerian Keuangan juga mengatakan bahwa turunnya penerimaan negara disebabkan oleh melambatnya harga komoditas utama.

Namun, Gulfino mempertanyakan alasan di balik buruknya implementasi aplikasi Coretax yang dicanangkan untuk meningkatkan kinerja pajak. Ia menekankan bahwa ada hubungan langsung antara pengelolaan pemungutan pajak dan kinerja pendapatan, sehingga jika Coretax tidak berjalan baik, semua hasilnya akan menggantung pada pendapatan pajak.

Seknas FITRA mendesak Kementerian Keuangan untuk segera memperbaiki tata kelola perpajakan di Indonesia. Jika aplikasi Coretax terbukti menghambat kinerja pajak, maka Menteri Keuangan diharapkan dapat mengambil tindakan tegas terhadap Direktorat Jenderal Pajak. Gulfino juga meminta agar efisiensi anggaran digunakan untuk program-program yang produktif dan bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat terutama yang berpendapatan rendah.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pemerintah tidak hanya boleh berharap pada penerimaan pajak, melainkan juga perlu inovasi dalam cara meningkatkan pendapatan negara tanpa merugikan masyarakat. Hal ini termasuk intensifikasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Sumber Daya Alam.

Di sisi lain, Seknas FITRA juga menyerukan agar aparat penegak hukum lebih aktif dalam mengejar aliran dana korupsi, terutama di lingkungan Pertamina. Gulfino berpendapat bahwa subsidi bahan bakar seharusnya bisa menghemat belanja negara dan berkontribusi pada pengurangan defisit anggaran.

Untuk pertama kalinya sejak tahun 2021, defisit APBN tercatat kembali. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa dari Januari hingga akhir Februari 2025, APBN mencatat defisit mencapai Rp 31,3 triliun, atau 0,13 persen dari PDB. Dalam konteks APBN 2025 yang dirancang dengan target defisit Rp 612,2 triliun, angka ini masih dalam batasan yang ditargetkan.

Seperti yang diketahui, defisit APBN tahun 2025 ditargetkan sekitar 2,53 persen dari PDB. Defisit anggaran terjadi ketika belanja pemerintah jauh melebihi pendapatan, yang pada tahun ini, ditargetkan untuk belanja negara sebesar Rp 3.621,3 triliun dan pendapatan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun, sehingga defisit anggaran dibatasi hingga Rp 616,3 triliun.

Namun, pada akhir Februari 2025, pendapatan negara tercatat mencapai Rp 316,9 triliun, dengan penerimaan pajak yang mengikuti angka sekitar Rp 240,4 triliun—terdiri dari pajak Rp 187,8 triliun dan penerimaan bea serta cukai sebesar Rp 52,6 triliun—sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 76,4 triliun. Meskipun ada banyak kebijakan yang diterapkan, Coretax tidak menjadi fokus utama dalam pembahasan.

Bila dilihat dalam konteks yang lebih luas, semua ini menunjukkan bahwa tantangan ekonomi yang dihadapi negara semakin kompleks dengan banyak factor internal maupun eksternal yang saling mempengaruhi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved