Keadilan Fiskal: Menggali Potensi Pajak di Luar Kebun Binatang

Tanggal: 15 Mei 2025 08:06 wib.
Tampang.com | Keadilan fiskal merupakan prinsip utama dalam sistem perpajakan yang mengharuskan distribusi beban pajak secara adil berdasarkan kapasitas ekonomi setiap individu. Di Indonesia, meskipun sistem perpajakan dirancang dengan pendekatan progresif, dalam implementasinya sering kali menyimpang dari tujuan tersebut. Salah satu poin kritis adalah fokus Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang lebih mendalam pada wajib pajak yang sudah terdaftar dan mematuhi ketentuan, alih-alih mengeksplorasi potensi sumber daya pajak yang masih tersembunyi, terutama di sektor-sektor yang belum banyak terjamah.

Fenomena ini dapat digambarkan sebagai "berburu di kebun binatang," di mana pajak diterapkan kepada individu atau entitas yang mudah diakses, daripada mencari yang lebih luas dan kurang terlihat. Hal ini menciptakan pertanyaan penting mengenai efektivitas dan keadilan dalam pengelolaan pajak nasional.

Dalam konteks perpajakan, istilah "berburu di kebun binatang" menggambarkan cara pemungutan pajak yang hanya menargetkan individu atau entitas yang sudah terdaftar. Kelompok ini mayoritas terdiri dari perusahaan besar, pegawai tetap, dan sektor formal lainnya, yang lebih mudah diawasi secara administratif. Namun, sektor informal, pelaku usaha mikro, dan individu berpenghasilan tinggi yang belum terdaftar sering kali luput dari perhatian.

Masalah utama yang muncul dari pendekatan ini adalah penyempitan basis pajak. Walaupun terlihat bahwa penerimaan negara meningkat, kenyataannya, hal itu hanya berasal dari segmen ekonomi yang sama dan berulang. Dampaknya tak hanya menciptakan ketimpangan dalam beban pajak, tetapi juga memunculkan perasaan ketidakadilan di kalangan wajib pajak yang patuh. Mereka merasa bahwa mereka dibebani lebih berat dibandingkan dengan mereka yang tidak terdaftar dan tidak berkontribusi pada pajak.

Laporan dari OECD yang dirilis pada 2021 menunjukkan bahwa penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional menyebabkan kerugian pendapatan pajak global antara 100 hingga 240 miliar dolar AS setiap tahun. Di Indonesia, penelitian oleh Tax Justice Network pada tahun 2023 mengungkap potensi penerimaan pajak yang hilang akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional mencapai angka fantastis Rp3.360 triliun per tahun. Masalah ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan terbatasnya sistem pelaporan lintas negara yang belum sepenuhnya optimal.

Di sisi lain, tingkat kepatuhan pajak di sektor informal tetap sangat rendah. Sektor ini menyerap lebih dari 57 persen dari total lapangan kerja di Indonesia (BPS, 2023), namun kontribusinya terhadap penerimaan pajak sangat minim. Selain itu, pertumbuhan pelaku ekonomi digital non-resmi semakin pesat, memanfaatkan celah dalam administrasi perpajakan yang belum sepenuhnya terintegrasi secara digital.

Sebuah kajian internasional yang dilakukan oleh Dias dan Gonçalves (2023) menunjukkan bahwa sistem perpajakan yang berbasis kekayaan dan konsumsi dapat secara efektif menurunkan ketimpangan sosial. Pajak atas kekayaan, yang menyasar individu dan entitas dengan akumulasi aset yang besar, berperan penting dalam menciptakan keadilan sosial. Negara-negara Skandinavia misalnya, berhasil mempertahankan indeks Gini yang rendah melalui penerapan sistem pajak ini secara adil dan berkesinambungan.

Di dalam negeri, Pusat Kebijakan Perpajakan (2022) mengungkapkan bahwa digitalisasi sistem perpajakan melalui penerapan core tax administration system (CTAS) dan integrasi data antarinstansi dapat memperluas basis pajak dan meningkatkan tingkat kepatuhan. Uji coba sistem tersebut telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pelaporan SPT Tahunan dan pemantauan transaksi ekonomi digital.

Antara tahun 2023 hingga 2025, pendekatan keadilan fiskal yang diterapkan berbagai negara menunjukkan perbedaan mencolok dalam strategi serta keberanian mereka untuk memperluas basis pajak. Di Indonesia, pemerintah lebih mengandalkan pendekatan administratif tradisional yang hanya menyoroti wajib pajak formal. Meski data dari DJP menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak tahunan antara 8 hingga 10 persen, perluasan basis pajak tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa peningkatan penerimaan lebih banyak bersumber dari wajib pajak yang sudah ada dibandingkan dengan penambahan entitas baru.

Sebaliknya, Australia menerapkan strategi yang lebih agresif. Melalui Australian Taxation Office (ATO), mereka melakukan audit lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan besar dan memperkuat penegakan hukum. Procara ini membuahkan hasil, dengan ATO berhasil memperkirakan potensi penerimaan tambahan sebesar AUD 10 miliar pada 2024 melalui penyelesaian masalah pajak perusahaan. Pendekatan ini menegaskan bahwa penegakan hukum yang kuat terhadap para pelaku ekonomi elit dapat menjadi instrumen yang efektif dalam menciptakan keadilan fiskal.

Tak kalah signifikan, Brasil berusaha lebih jauh dengan mengusulkan penerapan pajak global terhadap individu dengan kekayaan luar biasa. Inisiatif ini diajukan dalam forum G20 dan diusung oleh negara-negara berkembang lainnya. Jika dapat direalisasikan secara global, kebijakan ini diperkirakan mampu menghasilkan 2,1 triliun dolar AS per tahun yang dapat digunakan untuk mendanai layanan publik dan mengurangi ketimpangan antarnegara.

Dari telaah ini, tampak bahwa keberhasilan dalam membangun keadilan fiskal tidak hanya ditentukan oleh instrumen pajak yang diterapkan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh keberanian politik serta kesiapan administratif dalam menerapkan kebijakan secara ekstensif dan merata.

Untuk melampaui paradigma "berburu di kebun binatang," Indonesia memerlukan reformasi menyeluruh dalam strategi pemungutan pajak. Reformasi tersebut harus mencakup perluasan basis pajak secara digital dan inklusif melalui pengembangan integrasi data antara Ditjen Dukcapil, OJK, BPS, dan instansi lainnya untuk mengidentifikasi entitas ekonomi yang belum terdaftar sebagai wajib pajak. Digitalisasi juga harus menyasar pelaku usaha daring, sektor informal perkotaan, serta individu dengan penghasilan tinggi yang belum dilaporkan oleh DJP.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved