KDM Tegaskan Naskah Sanghyang Kandang Karesian Jadi Fondasi Pembangunan Jawa Barat
Tanggal: 20 Agu 2025 13:19 wib.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang akrab disapa KDM menekankan pentingnya menjadikan naskah kuno Sanghyang Kandang Karesian sebagai landasan moral, filosofis, sekaligus budaya dalam pembangunan Jawa Barat. Pesan itu ia sampaikan saat menghadiri Sidang Paripurna HUT ke-80 Provinsi Jawa Barat di Gedung Merdeka, Bandung, pada Selasa (19/8).
Menurut KDM, tidak ada bangsa di dunia yang bisa meraih kemajuan tanpa berpijak pada konstitusi atau akar tradisinya. Ia mencontohkan Inggris yang tetap mempertahankan kerangka hukum dan adat masa lalu, begitu pula Amerika yang membangun fondasinya dari nilai sejarah. Indonesia, lanjutnya, juga memiliki dua pilar penting: warisan sejarah nusantara dan peninggalan kolonial.
“Pembangunan bukan sekadar barisan angka dalam APBD atau sekumpulan teori teknokratis yang lahir dari ruang akademik. Pembangunan sejati adalah keselarasan manusia dengan alamnya—dengan tanah, air, udara, dan matahari. Tanah Sunda ini adalah titipan yang indah,” ujar KDM dengan tegas.
Ia menjelaskan, ajaran yang tertuang dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian—sebagai salah satu naskah Sunda kuno—sudah sejak lama membicarakan konsep tata ruang, pola masyarakat sipil, hingga kerangka pemerintahan. Nilai-nilai ini bahkan menjadi pedoman berbagai kerajaan yang pernah berdiri di tanah Jawa Barat, mulai dari Tarumanagara, Galuh Pakuan, Pakuan Pajajaran, Kesultanan Cirebon, hingga Sumedang Larang.
Pada bagian Tarumanagara, naskah menggambarkan bagaimana kerajaan mampu mengelola sumber daya sungai dan air untuk kemakmuran rakyat. Di Galuh Pakuan, nilai heroisme dan pengorbanan diceritakan sebagai dasar terbentuknya persenyawaan budaya pegunungan dan pesisir, utara dan selatan Jawa Barat. Lalu di era Pakuan Pajajaran, negara dibangun dengan tiga pilar utama: Karamaan (kepemimpinan spiritual), Karesian (keselarasan hidup), serta Karatuan/Kaprabuan (pemerintahan), yang melahirkan negara gemah ripah lohjinawi. Sementara pada masa Cirebon dan Sumedang Larang, nilai-nilai syariah ditanamkan dengan selaras, menyempurnakan tradisi orang Sunda yang dikenal dengan Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh.
“Cipta rasa adalah sendi utama dalam pembangunan. Rasa itulah yang menyempurnakan kehidupan orang Sunda. Tetapi kini nilai itu ditinggalkan. Semua sibuk dengan anggaran, sibuk dengan hitungan angka, tanpa menyadari bahwa di balik angka ada cinta, ada rasa, ada titah Tuhan,” kata KDM penuh penekanan.
Ia mengkritisi bahwa selama 80 tahun Jawa Barat berdiri sebagai provinsi, banyak cita-cita luhur dari naskah itu yang belum terwujud. Ketimpangan sosial masih menganga, angka kemiskinan masih tinggi, banyak anak kehilangan akses pendidikan, lapangan kerja terbatas, tata ruang rusak, hingga bencana yang terus berulang di berbagai daerah.
Bagi KDM, ini menjadi tanda bahwa pembangunan yang hanya bertumpu pada teknokrasi dan kepentingan politik telah melupakan akar budaya. “Kerangka leluhur itu adalah koreksi diri. Bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan pedoman hidup yang diwariskan. Kita bertugas menjalankan amanah Allah, memahami titah-Nya yang terwujud dalam rangkaian peristiwa alam. Maka pembangunan harus berpijak pada itu,” pungkasnya.