Sumber foto: Google

Kasus Perkawinan Anak NTB Tertinggi di Indonesia, Unicef Turun Tangan

Tanggal: 22 Mei 2025 10:21 wib.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati peringkat pertama kasus perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Angka ini menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak, terutama karena dampaknya yang signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak, termasuk tingginya angka stunting dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagai respons terhadap situasi yang kritis ini, United Nations Children’s Fund (UNICEF) bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui program Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia (Berani), yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan serta hak-hak reproduksi perempuan dan mencegah perkawinan anak melalui intervensi di tingkat desa.

Kondisi perkawinan anak di NTB sangat memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa banyak anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, yang berdampak negatif pada kualitas hidup mereka. Perkawinan dini memberikan dampak langsung terhadap pendidikan, kesehatan, dan masa depan anak perempuan. Ketika seorang anak perempuan menikah, seringkali ia harus mengorbankan pendidikannya, yang mengakibatkan proses pembelajaran dan perkembangan yang terhambat. Selain itu, ia berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan, termasuk komplikasi selama kehamilan dan persalinan yang dapat mengancam jiwa.

Program Berani yang diprakarsai oleh UNICEF bertujuan untuk mencegah perkawinan anak dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Program ini berfokus pada penyuluhan dan pendidikan hak-hak reproduksi, serta kesehatan seksual dan reproduksi. Melalui kegiatan ini, masyarakat diajak untuk lebih memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak, terutama bagi perempuan, dan konsekuensi dari perkawinan anak. Selain itu, intervensi di tingkat desa ini juga berupaya menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi anak-anak dan perempuan.

Pemprov NTB berkomitmen untuk menurunkan angka perkawinan anak hingga nol dengan kolaborasi lintas sektor. Upaya ini mencakup berbagai program yang melibatkan dinas pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan. Para pemangku kepentingan berupaya untuk menciptakan regulasi yang lebih ketat terkait usia perkawinan dan menyediakan alternatif bagi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan mereka. Hal ini diharapkan dapat merubah pola pikir masyarakat yang selama ini menganggap perkawinan anak adalah hal yang wajar.

Fokus pada kesehatan reproduksi juga menjadi salah satu aspek penting dalam program ini. Dengan meningkatnya kesadaran terhadap kesehatan reproduksi, diharapkan anak-anak dan remaja di NTB dapat memahami pentingnya menjaga kesehatan mereka, serta mengetahui hak-hak reproduksi yang dimiliki. Hal ini juga menjadi langkah preventif untuk mencegah bukan hanya perkawinan anak, tetapi juga masalah kesehatan lainnya yang sering kali mengakibatkan kematian selama proses persalinan.

Dampak dari kasus perkawinan anak di NTB tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Tingginya angka perkawinan dini berkontribusi pada peningkatan angka stunting di daerah tersebut. Stunting adalah kondisi di mana pertumbuhan anak terhambat akibat malnutrisi, dan sering kali menjadi hasil dari kehamilan di usia sangat muda, di mana tubuh anak belum sepenuhnya siap untuk menjalani proses tersebut. Oleh karena itu, dengan mencegah perkawinan anak, diharapkan angka stunting juga dapat turun.

Perlunya kolaborasi lintas sektor dalam menghentikan praktik perkawinan anak sangat penting. UNICEF dan Pemprov NTB menyadari bahwa permasalahan ini tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan komitmen dari berbagai elemen, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga organisasi non-pemerintah untuk bekerja sama dalam menciptakan perubahan. Masifnya edukasi tentang hak-hak seksual dan reproduksi harus dilaksanakan di seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua lapisan dapat berkontribusi dalam mencegah perkawinan anak.

Selain itu, program Berani juga berfokus pada pemberdayaan perempuan agar mereka memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan hidup mereka. Dengan pemberdayaan ekonomi dan sosial, perempuan dituntut untuk memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan pekerjaan, sehingga mereka tidak merasa terpaksa untuk menikah muda.

Dalam rangka mengatasi masalah ini, kehadiran UNICEF sebagai lembaga internasional yang berkomitmen terhadap kesehatan dan hak-hak anak sangatlah krusial. Melalui kerjasama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya, diharapkan masalah perkawinan anak dapat diminimalisir, menciptakan generasi yang lebih sehat, berpendidikan, dan memiliki masa depan yang cerah.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved