Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Marak, Ketua DPR Ingatkan Sistem Penanganan Harus Diperbaiki
Tanggal: 15 Sep 2024 07:55 wib.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Puan Maharani, menyoroti masih maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di perguruan tinggi. Puan juga menyatakan pentingnya perbaikan sistem penanganan kasus kekerasan seksual di kampus-kampus.
Menurut Puan Maharani, kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung kebebasan akademis dan memberikan rasa aman bagi seluruh mahasiswa. Rasa aman ini juga termasuk dalam memastikan lingkungan perguruan tinggi bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, mental, maupun kekerasan seksual. Hal ini ditegaskan oleh Puan pada Sabtu (14/9/2024).
Hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menunjukkan bahwa kekerasan seksual terbanyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Menurut catatan survei Kemendikbud per Juli 2023, terdapat 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Selain itu, dari periode 2015 hingga 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, di mana sebagian besar laporannya, yaitu sebanyak 35%, berasal dari kampus atau perguruan tinggi.
Pihak Kemendikbud Ristek menegaskan bahwa data kekerasan yang diperoleh, baik dari media massa maupun hasil survei lembaga, telah mencapai tingkat kekhawatiran yang serius. Puan Maharani pun menekankan betapa pentingnya komitmen dari perguruan tinggi untuk serius menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi.
"Peningkatan kasus kekerasan yang terjadi selama ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi," ungkap Puan.
Beberapa waktu belakangan, terdapat kasus dugaan kekerasan seksual di sebuah perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menjadi sorotan publik. Sebanyak 17 mahasiswi dan alumni diduga menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen kampus tersebut.
Kampus yang terlibat dalam kasus tersebut dinilai belum memberikan aksi yang nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut. Hal ini sangat disesalkan, mengingat dampak dari tindakan pelecehan yang dilakukan oleh oknum dosen tersebut telah berujung pada trauma bagi sebagian mahasiswinya hingga menyebabkan mereka berhenti kuliah.
Puan mengecam sikap kampus yang terkesan mengabaikan adanya kasus kekerasan seksual. Sebagai lembaga pendidikan yang bertanggung jawab dalam mencetak sumber daya manusia unggul, perguruan tinggi seharusnya dapat berkomitmen menegakkan integritas dan kredibelitasnya terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hukum, moral, dan etika.
Menurut Puan, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademis menunjukkan bahwa sistem perlindungan belum cukup efektif dalam mencegah maupun menanggapi kasus-kasus kekerasan seksual. Ia menekankan bahwa peran institusi pendidikan tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika.
Puan kembali mengingatkan perguruan tinggi untuk memainkan peranannya sebagai lembaga yang tidak hanya berfokus pada pendidikan, tetapi juga sebagai penegak moral dan etika. Menurutnya, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat kebijakan perlindungan perempuan di lingkungan kampus.
"Sistem penanganan kasus kekerasan seksual harus diperbaiki agar lebih inklusif, dengan melibatkan partisipasi mahasiswa, dosen, serta aktivis hak asasi perempuan. Kebijakan ini harus menjamin akses korban terhadap keadilan, tanpa adanya ancaman atau stigma tambahan," tutup Puan.