Sumber foto: google

Jurnalis, Mahasiswa, dan Aktivis di Surabaya Menolak Revisi RUU Penyiaran

Tanggal: 25 Mei 2024 15:25 wib.
Berbagai elemen masyarakat sipil yang terdiri dari jurnalis, mahasiswa, konten kreator, seniman, hingga aktivis hak asasi manusia di Surabaya, Jawa Timur, telah menyelenggarakan diskusi dan konsolidasi untuk menyikapi revisi Undang-Undang atau RUU Penyiaran pada Selasa, 21 Mei. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Surabaya, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Surabaya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, LBH Surabaya, Aksi Kamisan, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), serta pihak-pihak lain seperti akademisi, seniman, konten kreator, dan elemen masyarakat sipil lainnya.

Eben Haezer, Ketua AJI Surabaya, menjelaskan bahwa konsolidasi ini diinisiasi oleh Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur yang terdiri dari AJI, Kontras, dan LBH Lentera. Melalui forum ini, mereka bertujuan untuk mendapatkan masukan dari berbagai elemen terkait RUU Penyiaran. "Kami ingin menggali masukan dari mereka, pendapat mereka, terkait RUU Penyiaran. Dalam diskusi kali ini, kami sepakat bahwa ada prosedur yang salah dalam pembentukan RUU Penyiaran," ujar Eben.

Eben menyoroti beberapa pasal dalam RUU Penyiaran yang dianggap kontroversial, seperti Pasal 50b ayat 2c yang melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Hal ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melindungi kerja pers. Eben juga menegaskan bahwa RUU Penyiaran memiliki banyak pasal yang bermasalah, termasuk soal hilangnya aturan terkait kepemilikan media, pasal yang membahayakan demokratisasi konten, dan pasal yang mengancam perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Sementara itu, Ketua IJTI Korda Surabaya, Falentinus Hartayan, berpendapat bahwa RUU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sebaiknya tidak dikejar untuk disahkan karena memiliki banyak pasal yang kontroversial. Contohnya, pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi dianggap akan membungkam kerja jurnalis.

Fathul Khoir, Koordinator Kontras Surabaya, menambahkan bahwa RUU Penyiaran ini terindikasi memiliki niat jahat untuk membunuh demokrasi, memberangus kemerdekaan pers, serta membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Salah satu poin penting yang disoroti adalah aturan yang memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi 'platform digital penyiaran', yang memiliki potensi untuk melakukan penyensoran terhadap konten kreator.

Dari diskusi ini, terlihat bahwa perwakilan jurnalis, mahasiswa, dan aktivis hak asasi manusia di Surabaya menolak RUU Penyiaran dengan alasan proses penyusunannya yang dianggap tidak melibatkan partisipasi publik dan tidak mempertimbangkan kepentingan publik, serta konten-konten bermasalah yang tumpang tindih dan mengancam kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan demokrasi itu sendiri.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved