Sumber foto: Canva

Jejak Kolonialisme dalam Tata Kota Indonesia

Tanggal: 23 Jul 2025 08:38 wib.
Berkeliling di banyak kota tua di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, atau Bandung, seringkali kita seperti diajak melintasi lorong waktu. Bangunan-bangunan bergaya Eropa, jalan-jalan lebar dengan pohon rindang, hingga pola permukiman tertentu, semua ini adalah saksi bisu dari masa lalu yang tak bisa dipisahkan dari era kolonialisme. Pengaruh kekuasaan asing selama berabad-abad bukan hanya membentuk sejarah politik dan sosial, tetapi juga secara fundamental mengubah struktur fisik dan karakter kota-kota di Nusantara. Jejak kolonialisme itu masih sangat kentara, membentuk wajah kota hingga hari ini.

Kota Lama dan Kawasan Eropa: Pusat Kekuasaan dan Perdagangan

Salah satu warisan paling jelas dari kolonialisme adalah pembentukan kota lama atau kawasan Eropa. Di banyak kota besar, penjajah Belanda membangun pusat pemerintahan, perdagangan, dan permukiman mereka terpisah dari permukiman pribumi. Contoh paling gamblang bisa kita lihat di Kota Tua Jakarta (Batavia), yang dulunya adalah pusat pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Di sana, terdapat gedung-gedung pemerintahan, kantor dagang, gudang, hingga gereja yang dibangun dengan arsitektur khas Eropa.

Pola ini berulang di kota-kota lain. Kawasan ini biasanya ditata dengan jalan-jalan yang rapi, saluran air yang terencana, dan fasilitas publik yang menunjang aktivitas para kolonial. Tujuan utamanya adalah menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi mereka, sekaligus memudahkan kontrol terhadap aktivitas ekonomi dan administrasi. Penataan ini mencerminkan hierarki sosial pada masa itu, di mana warga Eropa menempati area sentral dan paling strategis, terpisah dari pemukiman etnis lain atau pribumi yang seringkali berada di pinggiran atau diatur dalam kampung-kampung.

Arsitektur Kolonial: Gabungan Fungsi dan Estetika

Arsitektur yang mendominasi kawasan-kawasan ini juga menjadi penanda kuat jejak kolonialisme. Gaya bangunan Indo-Eropa atau Indisch Architecture merupakan perpaduan antara desain Eropa (seperti Neoklasik, Art Deco, atau Dutch Colonial) dengan penyesuaian terhadap iklim tropis Indonesia. Kita bisa melihat atap yang tinggi untuk sirkulasi udara, beranda yang luas untuk teduh, dan penggunaan material lokal. Gedung-gedung pemerintahan, stasiun kereta api, hotel, gereja, hingga rumah-rumah tinggal elit kolonial, semuanya dibangun dengan ciri khas ini.

Contohnya Gedung Sate di Bandung, Lawang Sewu di Semarang, atau Stasiun Surabaya Kota. Bangunan-bangunan ini tidak hanya indah, tetapi juga berfungsi sebagai simbol kekuasaan dan kemajuan ala Barat yang ingin ditunjukkan oleh penjajah. Meskipun banyak yang sudah beralih fungsi, keberadaan bangunan-bangunan ini tetap menjadi identitas visual kota dan mengingatkan pada periode sejarah tersebut.

Infrastruktur dan Jaringan Transportasi: Mendukung Eksploitasi Sumber Daya

Selain bangunan, infrastruktur dan jaringan transportasi juga dibangun secara masif pada masa kolonial dengan tujuan utama mendukung eksploitasi sumber daya alam. Pembangunan jalan raya (seperti Jalan Raya Pos Daendels), jalur kereta api, pelabuhan, dan jembatan, dirancang untuk mempermudah distribusi hasil bumi dari pedalaman ke pelabuhan ekspor. Jalur-jalur ini seringkali menghubungkan pusat-pusat produksi (misalnya perkebunan) dengan kota-kota pelabuhan.

Pola jaringan jalan dan rel kereta api di banyak kota dan daerah pedalaman masih mengikuti rute yang ditetapkan pada masa kolonial. Ini menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi dan militer penjajah menjadi pendorong utama pembangunan infrastruktur yang hingga kini masih kita manfaatkan, meskipun dengan tujuan yang berbeda. Desain kota yang mengutamakan efisiensi pergerakan barang dan kontrol teritorial sangat tercermin dari jaringan infrastruktur ini.

Pola Pemisahan Sosial dan Hierarki Ruang

Salah satu aspek paling signifikan dari tata kota kolonial adalah pola pemisahan sosial dan hierarki ruang. Kota-kota dirancang untuk memisahkan penduduk berdasarkan ras dan status sosial. Ada kawasan khusus untuk orang Eropa (welvarende woonwijken), Tionghoa, Arab, dan permukiman pribumi (kampung) yang umumnya kurang terencana dan fasilitasnya terbatas. Pemisahan ini bukan hanya sebatas permukiman, tetapi juga tercermin dalam akses terhadap fasilitas publik, pendidikan, dan bahkan aturan hidup.

Pembagian ruang kota berdasarkan hierarki ini meninggalkan warisan sosial dan ekonomi yang kompleks. Meskipun secara formal pemisahan rasial sudah dihapuskan pasca-kemerdekaan, dampak dari pola penataan ruang ini masih terasa dalam bentuk kesenjangan pembangunan antarkawasan atau bahkan persepsi sosial terhadap suatu wilayah.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved