Jejak Kepemimpinan dan Budaya di Balik Perang Diponegoro

Tanggal: 26 Jul 2025 09:07 wib.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, menyampaikan bahwa Perang Diponegoro (1825–1830), yang juga dikenal sebagai Perang Jawa, bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan sebuah gerakan besar untuk mempertahankan identitas dan eksistensi bangsa Indonesia. Dalam pandangannya, perang tersebut merupakan simbol perlawanan menyeluruh yang melibatkan rakyat, budaya, dan nilai-nilai spiritual.

Dalam sebuah webinar nasional yang dipantau dari Jakarta, Sri Sultan menekankan bahwa Perang Diponegoro menjadi momentum penyatuan seluruh elemen masyarakat, mulai dari bangsawan, ulama, petani hingga rakyat kecil, yang bersatu untuk melawan penindasan kolonial Belanda. Lebih dari sekadar perang fisik, perang ini diwarnai dengan sentuhan kebudayaan lokal, seperti penggunaan gamelan, syair, dan tarian perang yang membakar semangat juang masyarakat Jawa.

"Ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara seni, budaya, dan strategi perang dalam sejarah masyarakat kita," ujar Sri Sultan.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa strategi gerilya yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro menjadi bukti kecerdikan dalam medan perang, sekaligus menunjukkan bahwa perjuangan tidak selalu harus dengan kekuatan fisik semata, tetapi juga dengan kecerdasan dan nilai moral yang tinggi. Meski akhirnya ditangkap melalui tipu daya kolonial, kepribadian Diponegoro tetap kokoh dan memancarkan wibawa selama masa pengasingan, seperti yang tercatat dalam dokumen sejarahnya.

Sri Sultan juga menyoroti bahwa nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh Diponegoro masih sangat relevan dengan zaman sekarang, terutama bagi para pemimpin. Ia menyebut bahwa seorang pemimpin harus mampu mengendalikan hawa nafsu, hidup sederhana, bersikap sabar, dan penuh kehati-hatian dalam bertindak, sebagaimana ajaran para leluhur.

"Pemimpin sejati tidak mengejar kemewahan, melainkan kejernihan batin dan kesungguhan dalam melayani rakyat," tambahnya.

Tak hanya aspek kepemimpinan, Perang Diponegoro juga memperlihatkan bagaimana kekuatan spiritual dan nilai religius mampu menjadi fondasi dalam melawan dominasi asing. Ini memperkuat kesadaran bahwa kekuatan lokal yang berakar dari budaya dan keimanan bisa menjadi senjata ampuh dalam mempertahankan jati diri bangsa.

Yogyakarta sendiri, lanjut Sri Sultan, telah berperan besar dalam melestarikan semangat tersebut dengan terus menjaga tradisi keraton, sastra klasik, dan upacara adat yang menjadi bagian penting dari kebudayaan Jawa. Ia meyakini bahwa sama seperti perang-perang besar lain di dunia yang meninggalkan jejak memori sosial, Perang Diponegoro pun turut membentuk cara pandang bangsa Indonesia terhadap makna kemerdekaan, persatuan, dan pengorbanan.

"Melalui Perang Diponegoro, kita belajar bahwa kemerdekaan itu tidak datang dengan mudah. Ia dibayar dengan nyawa, keberanian, dan keyakinan akan masa depan bangsa," tutup Sri Sultan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved