Sumber foto: Google

Jejak dan Kehidupan Orang Jawa di Kaledonia Baru, Otonomi Perancis di Pasifik

Tanggal: 26 Mei 2025 12:41 wib.
Tampang.com | Kaledonia Baru, wilayah otonomi Perancis yang terletak di antara Australia dan Fiji di Samudra Pasifik, menyimpan cerita menarik soal keberadaan ribuan warga keturunan Jawa yang telah menetap selama lebih dari satu abad. Berdasarkan data sensus 2019, sekitar 3.789 jiwa atau 1,4 persen dari total penduduk wilayah ini merupakan keturunan Indonesia, khususnya suku Jawa. Bahasa Jawa masih digunakan secara aktif di komunitas ini, menunjukkan kelangsungan budaya yang kuat meski berada jauh dari tanah asal.

Sejarah kedatangan orang Jawa ke Kaledonia Baru berawal pada akhir abad ke-19, saat pemerintah Perancis yang mengelola wilayah ini mencari tenaga kerja murah untuk mengisi kebutuhan di perkebunan kopi dan tambang nikel. Pada 16 Februari 1896, gelombang pertama 170 pekerja kontrak dari Jawa dikirim dengan perjanjian kerja selama lima tahun. Sebagian besar mereka bekerja di sektor perkebunan, pertambangan, dan sebagai pembantu rumah tangga di daerah pedesaan.

Menurut laporan surat kabar zaman itu, para pekerja Jawa dikenal sebagai “bangsa yang penurut dan rajin,” dengan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan tenaga kerja dari Vietnam. Pengiriman tenaga kerja ini berlangsung hingga 1949, dengan total sekitar 19.510 orang Jawa yang tiba melalui 87 kapal selama 55 tahun.

Meski banyak yang kembali ke Indonesia setelah masa kontrak selesai, sebagian besar memilih menetap, menikah dengan penduduk lokal, dan membentuk komunitas yang kini terus berkembang. Pada 1996, keturunan Indonesia di Kaledonia Baru diperkirakan mencapai 5.000 jiwa atau 2,5 persen populasi setempat, mirip dengan kisah komunitas Jawa di Suriname yang juga bermula dari pekerja kontrak.

Pelestarian budaya Jawa di Kaledonia Baru mendapat perhatian khusus sejak 1950-an, ketika Pemerintah Indonesia membuka konsulat di Noumea, ibu kota wilayah tersebut. Konsulat ini menjadi pusat aktivitas budaya dan sosial, seperti pertunjukan seni tradisional dan kegiatan gotong royong. Organisasi seperti Persatuan Masyarakat Indonesia dan Keturunannya (PMIK) juga turut memperkuat ikatan komunitas.

Peringatan 100 tahun kedatangan orang Jawa pertama pada 1996 menjadi momen penting untuk mengenang perjuangan leluhur. Marie-Jo Siban, pendiri Association Indonesienne de Nouvelle-Caledonie, menyebut perayaan itu sebagai penghormatan atas “keberanian, pengorbanan, dan ketekunan” para pendahulu mereka. Berbagai buku dan dokumentasi sejarah juga terus diproduksi, termasuk karya Fidayanti Muljono-Larue dan upaya Marcel Magi mendirikan organisasi Asal Usul untuk menghidupkan kembali warisan budaya.

Kini, Bahasa Jawa tetap digunakan oleh sebagian besar keturunan Jawa di Kaledonia Baru, meskipun penguasaan bahasa Indonesia cukup terbatas. Mereka menggunakan Bahasa Jawa ngoko secara umum, tanpa mengenal tingkatan bahasa halus seperti krama madya atau krama inggil. Bahasa Jawa di wilayah ini juga berkembang menjadi varian lokal yang dikenal sebagai Bahasa Jawa Kaledonia Baru (BJKB), hasil campuran dengan bahasa Perancis yang mencerminkan identitas unik komunitas tersebut.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved