Sumber foto: iStock

Jam Kematian Populasi: Jepang Diprediksi Hanya Punya 1 Anak di Tahun 2720, Ada Apa?

Tanggal: 27 Mei 2025 22:26 wib.
Jepang kini berada di ambang krisis demografi yang mengkhawatirkan. Para pakar memperingatkan, jika tren penurunan angka kelahiran terus berlanjut seperti sekarang, maka di awal tahun 2720 mendatang, Jepang diperkirakan hanya akan memiliki satu orang anak di bawah usia 14 tahun. Peringatan ini bukanlah sekadar imajinasi, melainkan hasil dari perhitungan serius seorang akademisi Jepang yang menyoroti kondisi kritis ini lewat pendekatan ilmiah dan visual.

Adalah Profesor Hiroshi Yoshida dari Pusat Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Lanjut Usia, Universitas Tohoku, yang menciptakan sebuah jam konseptual sebagai simbol peringatan terhadap menurunnya tingkat kesuburan di Jepang. Jam ini bukanlah jam biasa, melainkan alat pemantau populasi anak secara real-time. Data yang ditampilkan di dalamnya menunjukkan betapa cepatnya jumlah anak di Jepang berkurang setiap detik, berdasarkan statistik kelahiran tahunan.

Melalui metode ilmiah, jam ini memanfaatkan data resmi dari Biro Statistik Jepang dan membandingkan jumlah anak yang lahir dari tahun ke tahun. Berdasarkan proyeksi dari alat tersebut, jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan atau perilaku masyarakat, Jepang akan mencapai titik ekstrem di mana hanya ada satu anak di seluruh negeri pada tanggal 5 Januari 2720 — atau sekitar 695 tahun lagi dari sekarang.

Profesor Yoshida bukan orang baru dalam isu ini. Sejak tahun 2012, ia secara konsisten merilis proyeksi penurunan jumlah anak di Jepang setiap tahunnya. Dalam laporan terakhir yang dikutip dari The Japan Times, tercatat angka kelahiran Jepang mengalami penurunan sebesar 2,3 persen.

Melalui situs web pribadinya, Yoshida menjelaskan bahwa tujuan utama dari pembuatan jam konseptual ini adalah untuk meningkatkan kesadaran publik, terutama kalangan muda dan pembuat kebijakan, terhadap realitas suram penurunan populasi. Jam ini diharapkan dapat menjadi pengingat akan konsekuensi besar dari krisis demografi, khususnya terhadap keberlangsungan generasi muda di Jepang.

Statistik resmi menunjukkan bahwa tingkat kelahiran di Jepang berada dalam tren penurunan drastis selama bertahun-tahun. Pada 2023, angka kelahiran nasional mencapai titik terendah dalam sejarah, yakni 1,20 anak per wanita. Bahkan di Tokyo, angka tersebut tercatat di bawah satu, yang berarti rata-rata wanita tidak cukup melahirkan untuk menggantikan dirinya sendiri dalam populasi.

Penurunan angka kelahiran ini disebabkan oleh sejumlah faktor sosial dan budaya yang kompleks. Salah satunya adalah kecenderungan menurunnya jumlah pernikahan serta meningkatnya jumlah penduduk yang memilih hidup melajang. Gaya hidup modern yang menuntut karier, tekanan ekonomi, hingga biaya membesarkan anak yang tinggi menjadi alasan utama banyak orang Jepang enggan menikah atau memiliki anak.

Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Jepang menunjukkan bahwa selama enam bulan pertama tahun 2024, jumlah kelahiran turun ke titik terendah sejak tahun 1969. Dari Januari hingga Juni, tercatat hanya 350.074 kelahiran, atau turun 5,7 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023. Penurunan ini melanjutkan tren sebelumnya, di mana pada 2023, jumlah kelahiran juga turun 3,6 persen dari tahun sebelumnya.

Angka-angka ini menjadi bukti nyata bahwa upaya pemerintah Jepang selama ini belum cukup untuk membalikkan tren negatif tersebut. Meski telah mengupayakan berbagai program yang disebut sebagai “langkah-langkah luar biasa untuk melawan penurunan kelahiran”, hasilnya masih jauh dari harapan.

Pemerintah Jepang telah mencoba berbagai inisiatif, mulai dari pemberian tunjangan anak, insentif pernikahan, perpanjangan cuti melahirkan, hingga program subsidi tempat tinggal bagi pasangan muda. Namun sayangnya, dampak dari kebijakan tersebut belum mampu membendung laju penurunan populasi.

Dampak dari krisis ini tidak hanya menyentuh aspek demografi, tetapi juga berimbas langsung pada masa depan ekonomi Jepang. Dengan jumlah generasi muda yang menyusut, Jepang menghadapi tantangan serius dalam menjaga produktivitas tenaga kerja, pembiayaan sistem pensiun, serta layanan sosial di masa depan. Negara ini juga menghadapi risiko menurunnya daya saing global akibat kekurangan tenaga kerja muda yang inovatif.

Fenomena ini bahkan mendapat perhatian global. Jepang kini menjadi contoh ekstrem dari apa yang disebut sebagai “resesi seks” — kondisi ketika angka kelahiran sangat rendah sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Negara-negara lain dengan masalah serupa seperti Korea Selatan, Italia, dan China mulai mempelajari langkah-langkah Jepang untuk mengantisipasi kemungkinan krisis yang sama.

Namun, jika tidak ada tindakan drastis dan perubahan besar dalam waktu dekat, proyeksi tahun 2720 tersebut mungkin bukan hanya peringatan, melainkan kenyataan yang menanti di ujung sejarah Jepang. Jam konseptual karya Yoshida telah menyuarakan alarm keras — dan kini, pertanyaannya adalah: apakah masyarakat dan pemerintah Jepang siap menjawabnya?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved