Sumber foto: Canva

Jabatan Ganda di Pemerintahan: Antara Urgensi dan Batasan Hukum

Tanggal: 17 Jul 2025 10:23 wib.
struktur pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, seringkali muncul pertanyaan mengenai jabatan ganda. Apakah seorang pejabat publik boleh memegang lebih dari satu posisi sekaligus? Di satu sisi, ada argumen tentang efisiensi atau pemanfaatan keahlian langka. Di sisi lain, isu konflik kepentingan, beban kerja berlebih, dan potensi penyalahgunaan wewenang selalu menjadi kekhawatiran utama. Realitasnya, regulasi di Indonesia memberikan batasan yang ketat terhadap praktik jabatan ganda ini demi menjaga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Prinsip Dasar Larangan Jabatan Ganda

Pada dasarnya, hukum di Indonesia, khususnya yang mengatur tentang kepegawaian dan penyelenggara negara, sangat membatasi praktik jabatan ganda. Larangan ini bukan tanpa alasan. Tujuannya jelas: menjaga objektivitas, mencegah konflik kepentingan, memastikan fokus kerja pejabat, dan memitigasi risiko korupsi. Ketika seseorang memegang dua atau lebih posisi yang saling bersinggungan atau memiliki otoritas yang luas, potensi untuk menggunakan salah satu jabatan demi keuntungan pribadi atau kelompok sangatlah besar.

Dasar hukum utama yang melarang jabatan ganda bagi aparatur sipil negara (ASN) dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU ini secara eksplisit melarang ASN merangkap jabatan di instansi lain, apalagi di luar lingkungan pemerintah yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Larangan ini bertujuan agar ASN dapat fokus sepenuhnya pada tugas dan fungsi pokoknya, yang merupakan amanah dari rakyat. Fokus penuh pada satu jabatan diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas.

Batasan pada Pejabat Negara dan Anggota Legislatif

Larangan jabatan ganda juga berlaku ketat bagi pejabat negara dan anggota lembaga legislatif. Misalnya, seorang menteri tidak boleh memegang jabatan komisaris di perusahaan swasta atau direksi di BUMN/BUMD. Aturan ini ditegaskan dalam berbagai undang-undang terkait, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang melarang menteri merangkap jabatan lain. Tujuannya adalah agar para menteri dapat berkonsentrasi penuh pada urusan pemerintahan dan tidak terdistraksi oleh kepentingan bisnis atau pihak lain.

Demikian pula, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki batasan tegas. Mereka tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi BUMN/BUMD, pejabat struktural pada lembaga pendidikan, atau jabatan lain yang diatur oleh undang-undang. Aturan ini dimaksudkan untuk memastikan anggota legislatif benar-benar mewakili rakyat, fokus pada fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, tanpa adanya konflik kepentingan yang bisa memengaruhi keputusan-keputusan penting.

Pengecualian dan Interpretasi yang Diperbolehkan

Meskipun prinsipnya adalah larangan, ada beberapa pengecualian atau interpretasi yang memungkinkan seorang pejabat memegang lebih dari satu posisi, namun tetap dalam koridor hukum dan tanpa menimbulkan konflik kepentingan. Misalnya:

Jabatan Ex-Officio: Ini adalah jabatan yang secara otomatis melekat pada seseorang karena posisinya di jabatan utama. Contohnya, seorang kepala daerah secara otomatis menjadi ketua dewan komisaris di BUMD tertentu yang berada di bawah pemerintahannya. Jabatan ini tidak dianggap sebagai rangkap jabatan karena merupakan bagian integral dari tugas pokoknya sebagai kepala daerah.

Penugasan Sementara: Dalam situasi tertentu yang mendesak atau untuk tujuan khusus, seorang pejabat mungkin ditugaskan untuk menjalankan fungsi sementara di instansi lain. Namun, penugasan ini biasanya bersifat terbatas waktu dan tidak mengubah status jabatan utama.

Posisi di Organisasi Profesi/Sosial Non-Profit: Umumnya, pejabat masih diperbolehkan untuk aktif di organisasi profesi atau sosial kemasyarakatan yang bersifat non-profit, asalkan tidak ada konflik kepentingan yang nyata dan tidak mengganggu tugas pokok mereka di pemerintahan.

Pengecualian ini harus diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dan diawasi ketat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan.

Risiko dan Pentingnya Pengawasan

Meskipun ada batasan dan pengecualian, praktik jabatan ganda, sekalipun diizinkan dalam konteks tertentu, selalu membawa risiko. Potensi konflik kepentingan tetap ada, apalagi jika pengawasan lemah. Beban kerja yang berlebihan akibat merangkap jabatan juga bisa menurunkan kualitas kinerja di semua posisi yang dipegang. Hal ini pada gilirannya dapat berdampak pada pelayanan publik yang kurang optimal.

Oleh karena itu, pengawasan yang ketat dari lembaga terkait (seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman, atau Badan Pemeriksa Keuangan) serta partisipasi aktif masyarakat sangat penting untuk memastikan prinsip larangan jabatan ganda ditegakkan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved