Istana Respons Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Biarkan Sejarawan Menulis
Tanggal: 19 Jun 2025 22:59 wib.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi memberikan tanggapan terkait pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyentuh isu pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998. Hasan menekankan bahwa penting untuk menyerahkan penulisan sejarah kepada para sejarawan yang kompeten. Pernyataan tersebut diungkapkan Hasan dalam sebuah konferensi pers di kantor PCO yang berlokasi di Jakarta Pusat, pada hari Senin, 16 Juni.
"Saat ini, kita sedang berada dalam sebuah proses yang melibatkan penulisan sejarahIndonesia. Di dalam proses ini, terlalu banyak spekulasi seputar berbagai pernyataan yang muncul, di mana kadang-kadang ada yang beranggapan bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, sementara yang lain mengatakan sebaliknya. Mari kita berikan kesempatan bagi para sejarawan untuk menyusun naskah sejarah ini," ucap Hasan dengan tegas.
Ia juga menambahkan bahwa publik berhak untuk mengawasi dan mengoreksi karya para sejarawan. "Kita bisa bersama-sama memantau dan mengkaji apa yang mereka tuliskan," kata Hasan, mempertegas posisi pemerintah dalam mendukung transparansi di bidang penulisan sejarah.
Hasan menjelaskan bahwa sejarawan yang terlibat dalam penulisan sejarah tersebut adalah mereka yang memiliki kredibilitas tinggi dan integritas yang terjamin. Ia percaya bahwa para sejarawan ini tidak akan mengorbankan reputasi mereka untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. "Kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini seharusnya dapat menjadi bahan diskusi. Namun, mari kita lihat terlebih dahulu pekerjaan yang sedang mereka lakukan dalam menulis sejarah bangsa ini," imbuhnya.
Ketika ditanya mengenai pandangan Prabowo Subianto terhadap pernyataan Fadli Zon yang menuai banyak perhatian, Hasan mengaku tidak memiliki informasi yang memadai terkait hal tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah tetap terbuka untuk menerima kritik dan masukan mengenai penulisan sejarah yang diupayakan oleh Kementerian Kebudayaan.
"Silakan berikan kritik dan masukan, tetapi jika itu hanya berwujud pergunjingan di media sosial yang bersifat negatif, lebih baik dialog langsung dengan para ahli sejarah," tegas Hasan.
Di sisi lain, Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya mengungkapkan bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 adalah isu yang kompleks dengan beragam perspektif. Salah satunya adalah tentang penggunaan istilah "perkosaan massal," yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan panas. Fadli Zon menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut perlu disikapi dengan hati-hati, karena masih kurangnya data yang kuat, seperti nama korban, waktu, tempat kejadian, dan pelaku yang jelas dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Meskipun demikian, Fadli menegaskan bahwa ia tidak bermaksud untuk menafikan kenyataan adanya kekerasan seksual terhadap perempuan, baik di masa lalu maupun sekarang. "Saya mengutuk berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung hingga saat ini. Apa yang saya sampaikan tidak bermaksud untuk menghilangkan penderitaan yang dialami oleh korban kerusuhan pada Mei 1998," paparnya.
Fadli lebih lanjut menunjukkan bahwa pernyataannya bukan untuk menyangkal adanya kekerasan seksual, melainkan untuk menekankan pentingnya penulisan sejarah yang berlandaskan fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik. "Kita harus senantiasa berpegang pada bukti-bukti yang valid, terlebih lagi ketika membahas isu-isu yang sensitif. Istilah 'massal' juga telah menjadi bahan diskusi dalam kalangan akademik dan masyarakat, sehingga sensitivitas terhadap terminologi ini harus dikelola dengan baik dan penuh empati," ujarnya.
Ia menyatakan bahwa meskipun banyak tindak kejahatan, termasuk kekerasan seksual, terjadi di tengah kerusuhan tersebut, harus ada kehati-hatian dalam merumuskan istilah yang akan digunakan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau spekulasi yang berlebihan.