Iran Berusaha Tangkap Mata-mata Israel, Lebih Dari 700 Orang Ditangkap
Tanggal: 30 Jun 2025 10:39 wib.
Setelah terjadinya gencatan senjata dengan Israel, pemerintah Iran meluncurkan operasi keamanan internal yang berskala besar. Operasi ini melibatkan gelombang penangkapan massal dan eksekusi individu-individu yang dituduh sebagai mata-mata untuk negara musuh, khususnya Israel. Tindakan ini bertujuan untuk memperkuat keamanan nasional Iran di tengah meningkatnya ketegangan regional.
Parlemen Iran juga mengambil langkah proaktif dengan mengesahkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) darurat yang memfokuskan pada peningkatan hukuman bagi para mata-mata. Dalam sebuah penyampaian kepada masyarakat, Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengklaim bahwa mereka telah meraih kemenangan bersejarah atas Israel dan Amerika Serikat. Pernyataan tersebut disampaikan melalui media, termasuk Al Jazeera pada Rabu (25/6/2025).
Dalam laporan terbaru dari Iran International, dilaporkan bahwa lebih dari 700 orang telah ditangkap dalam periode 12 hari terakhir. Mereka dituduh terlibat dalam upaya sabotase atau berfungsi sebagai agen yang bekerja untuk Israel. Penangkapan ini terjadi di berbagai provinsi, mencerminkan skala operasi yang sangat luas di seluruh negara. Di Kermanshah, jumlah penangkapan mencapai 115 orang, sementara di Fars terdapat 53 penangkapaan, dan Khuzestan mencatatkan 23 orang yang didakwa.
Iran juga mulai menjatuhkan hukuman yang berat kepada individu-individu yang diduga berkolaborasi dengan Israel. Di kota Urmia, tiga pria dilaporkan dieksekusi setelah dianggap bersalah bersekongkol dengan badan intelijen Israel, Mossad. Gholam-Hossein Mohseni-Ejei, Kepala Kehakiman Iran, menyerukan agar proses hukum terkait para terduga kolaborator ini dipercepat. Ia meminta agar penanganan kasus tersebut segera mencapai putusan dengan merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku dalam situasi perang.
Sebagai bagian dari upaya memperkuat hukum, RUU baru yang disetujui oleh parlemen bertujuan untuk meningkatkan ancaman hukuman bagi pelaku spionase. Dalam ketentuan baru ini, kegiatan intelijen atau spionase untuk negara musuh bisa dianggap sebagai "kerusakan di muka bumi." Dalam sistem hukum Iran, kejahatan ini tergolong serius, dan pelaku dapat dijatuhi hukuman mati. Juru bicara Kehakiman Iran, Asghar Jahangir, menyatakan bahwa hukum saat ini terlalu umum dan mungkin tidak mencakup semua jenis spionase yang dihadapi oleh Iran saat ini.
Lebih jauh lagi, Iran memantau sentimen-sentimen yang dianggap pro-Israel di media sosial. Banyak warga Iran melaporkan menerima pesan teks massal dari pihak berwenang, memberi tahu mereka bahwa like atau pengikut terhadap konten-konten yang mendukung Israel akan dianggap sebagai tindak kriminal. Selain itu, aturan kepemilikan drone juga diperketat setelah Israel sering menggunakannya untuk melakukan serangan dari dalam negeri.
Dalam konteks ini, pejabat pemerintah berencana untuk menangguhkan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Mereka menuduh organisasi tersebut telah membuka jalan bagi serangan yang dilakukan oleh Israel.
Otoritas Iran juga menegaskan bahwa operasi keamanan ini bertujuan untuk meredam potensi kerusuhan internal, terutama di daerah-daerah yang dihuni oleh etnis minoritas, seperti daerah Kurdi yang sering menghadapi ketegangan. Pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) telah dikerahkan ke wilayah-wilayah Kurdi, di mana mereka mendirikan pos-pos pemeriksaan dan melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah untuk mencari senjata dan individu-individu yang dicurigai terlibat dalam kegiatan subversif.
Kekhawatiran atas tindakan represif ini juga disuarakan oleh kelompok hak asasi manusia internasional. Amnesty International memperingatkan bahwa Iran melakukan penggunaan hukuman mati sebagai cara untuk memperkuat kontrol dan menanamkan rasa takut di kalangan masyarakat. Mereka juga menyoroti bahwa proses pengadilan bagi para tersangka sangat tidak adil dan jauh dari standar hukum yang seharusnya dihormati.
Beberapa pakar menganalisis bahwa langkah-langkah pemerintah Iran ini tidaklah mengejutkan, mengingat konflik yang baru saja terjadi. Mereka mencatat bahwa tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah cenderung tidak terhindarkan dalam situasi seperti ini. Sanam Vakil dari lembaga pemikir Chatham House menyatakan bahwa tindakan keras ini diharapkan akan berlangsung cukup luas dan cukup lama, mengingat latar belakang rezim yang dikenal sangat represif.