Inilah Kelompok Masyarakat Indonesia yang Paling Terdampak dari Tarif 0% untuk AS
Tanggal: 23 Jul 2025 08:50 wib.
Amerika Serikat (AS) baru saja mengumumkan kebijakan tarif impor yang cukup mencolok, yakni menetapkan tarif sebesar 19% untuk produk-produk asal Indonesia. Sebaliknya, produk dari AS yang masuk ke Indonesia akan dikenakan tarif nol persen alias 0%. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden AS, Donald Trump, pada Rabu (16/7/2025). Melalui pelbagai forum, Trump menjelaskan keuntungan yang didapat AS dari kebijakan ini. "Mereka (Indonesia) akan membayar tarif 19%, sementara kami tidak membayar apa pun," tutur Trump, seperti yang dilaporkan oleh Reuters.
Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, juga menambahkan, bahwa hal ini akan membantu memperkuat industri di AS dengan memberikan akses yang lebih besar ke pasar Indonesia. "Kami akan melakukan ini untuk mengembalikan kejayaan industri kami, dan ini akan membebaskan petani, peternak, dan nelayan kami," sambungnya, menegaskan bahwa Indonesia terjebak dalam ketidakseimbangan perdagangan yang merugikan mereka.
Dengan adanya ketimpangan yang jelas antara besaran tarif impor AS dan Indonesia, muncul pertanyaan mengenai dampak nyata dari kebijakan ini terhadap masyarakat di Indonesia. Menurut Bhima Yudhistira, seorang ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), kebijakan ini merupakan sebuah kegagalan besar bagi Indonesia. "Sebuah keajaiban bagi AS bisa mendapatkan tarif 0% dari negara lain seperti Indonesia, karena negara lain bahkan tidak berhasil memperoleh keuntungan serupa saat bernegosiasi," ungkapnya.
Bhima juga mencatat bahwa negara-negara seperti Vietnam yang berusaha menegosiasikan tarif impor dengan Amerika Serikat hanya mampu menurunkan tarif menjadi 20% dari 46%. Meskipun demikian, mereka tidak mendapatkan klausul akses penuh ke pasar untuk produk-produk dari AS seperti yang didapatkan Indonesia. Hal ini menjadi pertanda bahwa Indonesia mungkin sudah kehilangan daya tawar dalam negosiasi perdagangan internasional.
Salah satu alasan mengapa Indonesia setuju untuk memberikan tarif 0% kepada produk AS bisa jadi karena kekhawatiran terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor-sektor industri padat karya seperti alas kaki dan pakaian jadi. Ketakutan akan dampak sosial yang lebih luas ini mungkin menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan tersebut.
Berbicara tentang dampak bagi masyarakat Indonesia, Bhima menjelaskan bahwa produk-produk utama yang diimpor dari AS ke Indonesia antara lain suku cadang pesawat, bahan bakar minyak (BBM), serta produk pangan seperti kedelai, gandum, dan jagung. Penurunan biaya tarif impor ini, menurutnya, akan berujung pada harga barang yang lebih murah, tetapi pada saat yang sama dapat memberikan dampak negatif bagi petani lokal.
Dia memperingatkan bahwa petani jagung di Indonesia berpotensi mengalami kerugian sangat besar karena tidak mampu bersaing dengan produk jagung impor yang akan membludak di pasar. "Petani jagung lokal bisa rugi besar, bahkan terpaksa gulung tikar," ujar Bhima. Selain itu, peternak susu dan produsen olahan seperti keju juga akan merasakan dampak yang cukup signifikan akibat kebijakan ini.
Perlu dicatat bahwa sebelum dikenakannya tarif 0%, Indonesia telah menempati posisi ketujuh sebagai tujuan ekspor produk pertanian dan peternakan dari AS. Dan dengan semakin banyak produk dari AS yang masuk ke pasar Indonesia, dikhawatirkan akan semakin meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap produk pertanian dan pangan impor.
Contoh lain dari ancaman yang muncul adalah komoditas kedelai, di mana saat ini Indonesia sudah 80% bergantung pada impor. "Dengan masuknya lebih banyak kedelai dari luar, pelaku industri makanan mungkin akan merasa diuntungkan karena harga bisa turun. Namun, petani kedelai lokal pasti akan merasakan dampaknya yang sangat berat," kata Bhima.
Sejalan dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa skema tarif 0% ini bukan hanya sekadar angka, tetapi memiliki dampak luas yang dapat memengaruhi kehidupan masyarakat, mulai dari petani hingga pelaku industri lain di Indonesia. Kebijakan ini tampaknya akan memperlebar jurang antara produk lokal dan impor, memengaruhi daya saing dan kelangsungan hidup bagi banyak sektor yang bergantung pada pertanian dan peternakan di dalam negeri.