Indonesia Terancam Tenggelam? Peringatan Keras PBB Soal Krisis Iklim Asia yang Tak Bisa Diabaikan
Tanggal: 23 Jun 2025 10:51 wib.
Indonesia kembali menjadi sorotan dunia. Dalam laporan terbaru, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan serius terkait dampak perubahan iklim ekstrem yang semakin menghantui kawasan Asia, termasuk Indonesia. Laporan ini bukan hanya menyentuh aspek lingkungan semata, tetapi juga menggarisbawahi ancaman terhadap kehidupan manusia, perekonomian, hingga masa depan negara-negara di kawasan tersebut.
Melalui laporan bertajuk “State of the Climate in Asia 2023”, Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyampaikan bahwa Asia saat ini menjadi wilayah yang paling rentan terhadap dampak bencana yang dipicu oleh perubahan iklim. Mulai dari suhu permukaan yang meningkat drastis, mencairnya gletser di dataran tinggi, hingga naiknya permukaan laut secara konsisten menjadi bukti nyata bahwa krisis ini bukan sekadar prediksi masa depan—melainkan realitas yang sudah terjadi sekarang.
Asia Memanas Dua Kali Lebih Cepat dari Dunia
Salah satu temuan utama dalam laporan WMO adalah bahwa kawasan Asia mengalami pemanasan hampir dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global sejak periode 1961 hingga 1990. Lonjakan suhu ini tidak hanya menyebabkan perubahan iklim regional, tapi juga memicu bencana alam yang semakin intens dan sering terjadi.
Pada tahun 2023, kawasan Asia mencatat 79 bencana hidrometeorologi—yang mencakup bencana terkait air dan cuaca seperti badai, banjir, dan kekeringan. Lebih dari 80% bencana tersebut berbentuk banjir dan badai, yang menyebabkan lebih dari 2.000 korban jiwa serta mendampak langsung sekitar 9 juta orang.
Meski belum ada laporan resmi tentang korban meninggal akibat suhu panas ekstrem, para ahli kesehatan menyebut bahwa risiko kesehatan akibat suhu tinggi semakin memburuk. Salah satu contoh nyata adalah Topan Tropis Mocha, yang digolongkan sebagai salah satu badai paling kuat di kawasan Teluk Benggala dalam 10 tahun terakhir dan meluluhlantakkan wilayah Bangladesh serta Myanmar.
Negara-Negara Rentan, Termasuk Indonesia, Menjadi Korban Terbesar
Menurut Armida Salsiah Alisjahbana, Sekretaris Eksekutif dari United Nations ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), negara-negara berkembang dan pulau-pulau kecil adalah pihak yang paling dirugikan dalam krisis ini. Meskipun kontribusi mereka terhadap emisi global tergolong kecil, dampak yang mereka hadapi justru sangat besar dan tidak proporsional.
“Sekali lagi, negara-negara rentan mengalami dampak yang jauh lebih besar,” ujar Armida. Namun, ia juga menekankan bahwa sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan yang lebih baik telah berhasil menyelamatkan ribuan nyawa di tengah kondisi yang semakin mengkhawatirkan.
Indonesia Mendapat Sinyal Kuning: Permukaan Laut Naik Lebih Cepat
Salah satu bagian paling krusial dalam laporan tersebut adalah analisis tentang kenaikan permukaan laut yang terjadi sejak Januari 1993 hingga Mei 2023. Dalam peta risiko yang dibuat oleh WMO, Indonesia berada di zona kuning, yang berarti bahwa kenaikan permukaan laut di wilayah pesisir Indonesia melebihi rata-rata global, yakni mencapai 3,4 mm per tahun.
Fakta ini menguatkan hasil studi sebelumnya yang dirilis oleh USAID pada 2016, yang memperkirakan bahwa sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia berpotensi tenggelam pada tahun 2050 jika tidak ada upaya serius dalam mengurangi emisi karbon dan mengelola risiko perubahan iklim.
Yang lebih mengejutkan, sebanyak 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah pesisir terancam kehilangan tempat tinggal mereka dalam dua dekade mendatang. Ini bukan lagi isu lingkungan semata, tetapi juga menyangkut isu kemanusiaan, sosial, dan ekonomi nasional.
Bukti Nyata Krisis Iklim: Saatnya Bergerak Bersama
Data dan analisis dari laporan ini menjadi pengingat keras bahwa perubahan iklim bukan sekadar wacana. Dampaknya telah terasa dan terus memburuk dari tahun ke tahun. Fenomena cuaca ekstrem yang melanda berbagai wilayah dunia, termasuk Indonesia, menjadi bukti bahwa perubahan iklim adalah tantangan terbesar abad ini.
WMO dan PBB menegaskan bahwa upaya mitigasi iklim tidak bisa ditunda lagi. Dibutuhkan aksi nyata dan terkoordinasi—mulai dari pemerintah, sektor swasta, akademisi, hingga masyarakat umum. Salah satu langkah mendesak adalah mengembangkan infrastruktur ramah iklim, memperkuat sistem peringatan dini bencana, dan melakukan transisi menuju energi terbarukan untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan melalui edukasi dan penyebaran informasi yang akurat. Langkah kolektif ini sangat penting untuk memperlambat laju perubahan iklim sekaligus menyelamatkan masa depan generasi mendatang.
Indonesia Harus Bersiap: Bukan Lagi Soal Jika, Tapi Kapan
Dengan proyeksi bahwa wilayah pesisir Indonesia akan mengalami kerusakan paling parah akibat naiknya permukaan laut, maka perencanaan tata ruang wilayah, sistem drainase, dan ketahanan komunitas lokal harus segera ditingkatkan. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga mulai memperkuat strategi adaptasi terhadap perubahan iklim jangka panjang.
Saat dunia menghadapi risiko eksistensial akibat krisis iklim, laporan ini menjadi sinyal keras bahwa Indonesia tidak bisa lagi menunda aksi. Masa depan puluhan juta rakyat dan ribuan pulau di Tanah Air kini berada di ujung tanduk—dan hanya bisa diselamatkan lewat aksi nyata hari ini.