Ilmuwan AS Umumkan Lonjakan CO2 Tertinggi Sepanjang Sejarah, Indonesia Mulai Terasa Dampaknya
Tanggal: 23 Jun 2025 10:51 wib.
Kekhawatiran global tentang krisis iklim kembali mencuat setelah para ilmuwan dari Amerika Serikat mengumumkan temuan terbaru yang mengindikasikan perubahan serius di atmosfer Bumi. Pusat observasi Mauna Loa di Hawaii, yang selama puluhan tahun menjadi tempat pengukuran atmosfer paling terpercaya, mencatat lonjakan kadar karbon dioksida (CO) ke tingkat tertinggi sepanjang sejarah manusia.
Menurut laporan yang dikutip dari Mashable, pada 6 Juni 2025, Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) mencatat bahwa konsentrasi CO di atmosfer telah mencapai 427 parts per million (ppm), naik hampir 3 ppm dibandingkan tahun sebelumnya. Ini adalah rekor baru, dan menandai tingkat akumulasi karbon tercepat sejak pencatatan dimulai pada 1958.
Perubahan Atmosfer Tak Pernah Secepat Ini
Kenaikan CO tahunan memang biasanya memuncak pada bulan Mei karena pola musim dan vegetasi global. Namun, catatan tahun ini jauh melampaui prediksi dan menggambarkan realitas baru yang harus dihadapi umat manusia. Gas rumah kaca ini terbukti menjadi penyumbang utama dalam pemanasan global karena kemampuannya menjebak panas di atmosfer.
Menurut Ralph Keeling, Direktur Program CO dari Scripps Institution of Oceanography yang juga turut memantau data dari Mauna Loa, peningkatan ini bukan hanya tertinggi sepanjang sejarah peradaban manusia, tetapi juga terjadi dalam tempo yang sangat cepat. Ia menggambarkan situasi ini sebagai akumulasi polusi dari pembakaran bahan bakar fosil, yang ibarat sampah di tempat pembuangan—terus bertambah tanpa henti.
“Setiap tahun kita melihat titik puncak baru CO, dan ini adalah bukti bahwa polusi dari bahan bakar fosil terus menumpuk,” ungkap Keeling.
Cuaca Ekstrem Jadi Gejala Nyata
Lonjakan konsentrasi karbon ini sejalan dengan meningkatnya fenomena cuaca ekstrem di seluruh dunia. Administrator NOAA, Rick Spinrad, menegaskan bahwa dunia kini tengah menghadapi tahun-tahun paling panas dalam sejarah pencatatan iklim modern. Tak hanya suhu udara, suhu laut pun mencapai rekor tertingginya, dan diikuti oleh meningkatnya bencana alam seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, hingga badai dahsyat.
Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) sebelumnya juga mencatat bahwa tahun 2023 adalah tahun terpanas di Bumi sejak pencatatan suhu dimulai pada 1880. Bahkan, sepuluh tahun terakhir disebut sebagai dekade dengan suhu paling tinggi yang pernah terjadi.
Laboratorium Mauna Loa bahkan memvisualisasikan tren kenaikan CO dalam grafik yang menunjukkan peningkatan drastis sejak 1958. Grafik tersebut juga diperluas untuk memberikan perspektif hingga 800.000 tahun ke belakang, menggunakan data dari inti es Greenland dan Antartika. Hasilnya sangat jelas: atmosfer Bumi kini berada dalam kondisi yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia modern.
Kiamat Iklim Masih Bisa Dicegah
Meski situasi tampak mengkhawatirkan, para ilmuwan iklim menegaskan bahwa dunia belum benar-benar terlambat untuk bertindak. Masih ada peluang untuk menekan dampak terburuk dari perubahan iklim, asalkan masyarakat global—terutama pemerintah dan industri besar—segera beralih ke sumber energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Pemantauan dari Mauna Loa dan stasiun lainnya akan terus dilakukan untuk mendokumentasikan perubahan atmosfer secara akurat. Data-data ini diharapkan bisa menjadi dasar kebijakan lingkungan yang lebih ketat dan efektif.
Indonesia Tak Luput dari Dampak
Fenomena pemanasan global tidak hanya terjadi di belahan dunia Barat. Indonesia pun mulai merasakan dampaknya secara langsung, terutama dalam bentuk suhu panas ekstrem yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa suhu tinggi yang dirasakan di beberapa wilayah disebabkan oleh langit cerah tanpa awan, yang memungkinkan penyinaran matahari secara maksimal ke permukaan bumi.
Selain itu, posisi semu Matahari yang berada dekat ekuator juga memicu pemanasan intens. Saat ini, deklinasi Matahari berada di sekitar 11,2° LU, menjadikan penyinaran di Indonesia lebih intensif dari biasanya.
“Kecepatan angin yang relatif rendah di sejumlah wilayah juga menyebabkan panas tidak terdistribusi dengan baik, dan akhirnya terakumulasi di permukaan,” jelas BMKG dalam pernyataan resminya.
Kondisi tersebut diperparah oleh kelembaban udara yang tinggi, yang menyebabkan tubuh manusia merasakan suhu lebih panas dibandingkan yang tercatat oleh termometer. Kombinasi ini menjadikan cuaca Indonesia terasa "mendidih" bagi banyak orang.
Saatnya Bergerak: Individu, Korporasi, dan Pemerintah
Dengan bukti ilmiah yang semakin kuat tentang percepatan perubahan iklim, tanggung jawab tidak lagi bisa diletakkan hanya pada pundak ilmuwan dan aktivis. Setiap individu memiliki peran penting—mulai dari mengurangi konsumsi energi, beralih ke kendaraan listrik atau sepeda, hingga menekan jejak karbon melalui gaya hidup berkelanjutan.
Di sisi lain, korporasi besar dan pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dan konkret dalam mengurangi emisi karbon. Investasi pada energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air perlu dipercepat, bukan hanya untuk menyelamatkan planet, tapi juga untuk menjamin keberlangsungan generasi mendatang.