Sumber foto: google

IJTI Kritik RUU Penyiaran Larang Tayangan Eksklusif Investigasi

Tanggal: 12 Mei 2024 12:35 wib.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mempertanyakan isi dari draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Salah satu aspek yang dipermasalahkan adalah larangan terhadap penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, menilai bahwa ketentuan tersebut menimbulkan banyak tafsir dan kebingungan. "Pertanyaan besar kami adalah mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi?" ujar Herik, melalui siaran pers pada Sabtu (11/5).

Menurut Herik, selama karya tersebut mematuhi kode etik jurnalistik, didasari oleh data dan fakta yang benar, serta bermanfaat bagi kepentingan publik, maka seharusnya tidak ada masalah dalam penayangannya. Ia melihat bahwa larangan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk intervensi dan pembungkaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Herik lebih lanjut menyatakan keprihatinannya bahwa RUU Penyiaran dapat disalahgunakan sebagai alat politik oleh pihak tertentu untuk meredam karya jurnalistik profesional dan berkualitas. Selain itu, ia juga menyoroti pasal-pasal lain yang mengatur mengenai isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Menurut Herik, pasal-pasal tersebut dapat memiliki tafsir yang multitafsir, terutama yang berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI menegaskan bahwa pasal yang multitafsir dan membingungkan tersebut berpotensi menjadi alat untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.

Herik menjelaskan bahwa pers memiliki peran penting sebagai kontrol sosial dalam menjaga agar proses bernegara berjalan dengan transparan, akuntabel, dan memenuhi hak-hak publik. Oleh karena itu, IJTI turut mempermasalahkan ketentuan yang menyerahkan penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sedangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.

Herik menekankan bahwa pemecahan sengketa seharusnya dilakukan di Dewan Pers, yang merupakan wadah regulasi sendiri bagi komunitas pers untuk mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional, dan berkualitas melalui self-regulation. IJTI menolak sejumlah pasal dalam draft revisi RUU Penyiaran yang dianggap mengancam kemerdekaan pers, dan meminta DPR untuk melakukan kajian ulang dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk organisasi jurnalis dan masyarakat.

Selain itu, IJTI juga mengajak semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved