Harga Gabah Tunggal dan Tantangan Regulasi Pangan yang Berkepanjangan

Tanggal: 13 Mei 2025 21:47 wib.
Dalam konteks pembuatan kebijakan publik, mencabut atau mengubah suatu regulasi sering kali dianggap sebagai hal yang mudah. Namun, tantangan sebenarnya terletak pada kemampuan untuk menciptakan regulasi yang solid, berkelanjutan, dan dapat memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Kebutuhan ini memerlukan keterampilan berpikir yang matang, empati terhadap kondisi sosial, dan konsistensi dalam menjalankan hukum dari para perumus kebijakan.

Regulasi lebih dari sekadar sekumpulan bab, pasal, dan ayat; ia mencerminkan niat dan kemampuan pemerintah dalam menangani permasalahan yang dihadapi rakyat. Dalam kerangka tata kelola pemerintahan, regulasi didefinisikan sebagai seperangkat hukum yang dibuat untuk mengatur berbagai aktivitas, baik dalam sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Selain untuk merapikan keadaan, regulasi juga bertujuan untuk memberikan perlindungan. Di sektor pangan, misalnya, regulasi tidak hanya berdampak pada kehidupan petani, tetapi juga pengusaha, konsumen, dan stabilitas negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengesahan regulasi pangan harus dilakukan dengan hati-hati dan bukan secara sembarangan.

Belakangan ini, publik semakin menyoroti perubahan regulasi mengenai harga pembelian gabah dan beras yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketidakpastian mulai muncul setelah dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Perkabadan) Nomor 2 Tahun 2025, yang ditandatangani pada awal Januari, kemudian mengalami revisi melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14 Tahun 2025 hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Situasi ini memicu kegaduhan dan pertanyaan di antara para petani, pelaku pasar, dan pengamat kebijakan publik.

Mengapa regulasi yang sangat penting bagi kesejahteraan petani dapat dicabut begitu cepat? Apakah ada kesalahan dalam proses penyusunannya? Atau apakah ketidaksiapan dalam memprediksi dampaknya di lapangan menjadi penyebab utama? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada isu yang lebih besar berkaitan dengan kualitas proses legislasi di tingkat kementerian dan badan terkait.

Sering kali, partisipasi publik dan kajian akademis dalam proses penyusunan regulasi masih sangat diperlukan. Lampiran Perkabadan Nomor 2/2025 yang menetapkan syarat kadar air dan kadar hampa gabah menciptakan kekhawatiran tersendiri bagi petani. Mereka takut hasil panen mereka tidak akan dibeli di atas Rp6.500 per kilogram hanya karena tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Mengingat kondisi alam dan infrastruktur pengeringan di desa-desa yang kerap kali tidak memadai, ketentuan ini dipandang tidak adil.

Namun, dalam tanggapannya, pemerintah segera bertindak cepat dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14/2025. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah mencabut Lampiran I huruf A dan Lampiran II versi sebelumnya, serta menetapkan kebijakan “satu harga gabah” Rp6.500 per kilogram tanpa memandang kadar air atau kadar hampa. Ini tentu saja memberikan kepastian harga bagi petani saat panen berlangsung, mereka tidak lagi dibebani risiko penurunan harga karena syarat-syarat teknis yang kadang kali di luar kendali mereka.

Meskipun demikian, di balik keputusan ini tersimpan pelajaran yang sangat berharga. Bagaimana mungkin Perkabadan Nomor 2/2025 dapat dihasilkan tanpa antisipasi yang memadai terhadap reaksi publik dan kondisi di lapangan? Bukankah regulasi yang strategis seharusnya diawali dengan naskah akademik yang mendalam, simulasi kebijakan, serta konsultasi dengan para pemangku kepentingan, khususnya petani? Jika prosesnya hanya didasarkan pada data yang cenderung kaku dan asumsi teknis tanpa melibatkan suara masyarakat yang paling terpengaruh, kemungkinan besar regulasi tersebut akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.

Pada titik ini, kita harus mengingat pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa hukum yang adil bukanlah hukum yang kaku; hukum harus sesuai dengan konteks yang ada dan menjamin keadilan substantif. Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya, The Social Contract, juga menegaskan bahwa hukum harus berasal dari kehendak umum (general will), bukan hanya dari kepentingan elit teknokrasi.

Regulasi pangan semestinya mengedepankan perlindungan, keadilan distributif, dan keberpihakan kepada kelompok yang lebih rentan, bukan justru menambah beban bagi mereka. Kemampuan pemerintah untuk mengenali dan membatalkan aturan yang dapat merugikan petani adalah langkah yang harus diapresiasi. Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa proses perumusan kebijakan harus lebih transparan, partisipatif, dan didasarkan pada bukti yang valid.

Tidak cukup hanya mengandalkan tim internal atau data statistik. Dialog sosial yang melibatkan petani, asosiasi, akademisi, hingga masyarakat sipil yang menjadi jembatan aspirasional harus ditingkatkan. Di sisi lain, kebijakan satu harga gabah ini perlu dijaga konsistensinya agar tidak menjadi sekadar langkah sementara menjelang panen yang segera dilupakan saat musim tanam baru tiba.

Pemerintah perlu merencanakan langkah strategis jangka menengah untuk meningkatkan kualitas gabah petani melalui penyuluhan, penyediaan alat pengering yang memadai, serta akses terhadap pupuk dan benih unggul. Jika kualitas gabah petani meningkat, pelaku pasar serta pemerintah dapat lebih mudah bernegosiasi mengenai harga yang lebih baik. Pengadaan kebijakan satu harga tidak boleh mengakibatkan stagnasi dalam perbaikan kualitas produksi.

Regulasi pangan adalah urusan yang kompleks, melibatkan aspek politik dan teknis secara bersamaan. Di dalamnya terdapat isu-isu mengenai kedaulatan, stabilitas nasional, dan ketahanan sosial. Oleh karena itu, setiap aturan yang lahir dari ranah pangan tidak boleh dihasilkan secara tergesa-gesa atau untuk menyenangkan satu pihak saja. Negara harus berperan bukan hanya sebagai pembeli, tetapi juga sebagai pengawas keseimbangan antara produsen dan konsumen, dengan tujuan menjaga keadilan dan efisiensi.

Semoga dinamika pengaturan harga gabah ini dapat menjadi momen refleksi bagi semua pihak, bahwa membangun kedaulatan pangan tidak cukup hanya dengan niat baik. Ini harus diimbangi dengan regulasi yang matang, bijaksana, dan mampu memihak kepada seluruh elemen masyarakat, terutama mereka yang berjuang di garis terdepan. Masyarakat kini menantikan keberlanjutan dalam pengaturan pangan yang lebih teratur dan responsif di masa depan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved