Sumber foto: Google

Guru Besar UI Beri Saran untuk Mengurangi Pengangguran di Kalangan Gen Z

Tanggal: 23 Jul 2024 11:45 wib.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia, yang tergolong dalam generasi Z berusia 15 hingga 24 tahun, menganggur atau tidak memiliki kegiatan (not in employment, education, and training/NEET).

Data ini menunjukkan bahwa jumlah anak muda yang tergolong NEET paling banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu sebanyak 5,2 juta orang, dan 4,6 juta di pedesaan.
Perhatian terhadap permasalahan ini datang dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Omas Bulan Samosir, Ph.D.

Menurut Prof. Omas, banyaknya Gen Z yang menganggur disebabkan oleh ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja.
Dampaknya, kompetensi lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Prof. Omas menekankan bahwa pasar tenaga kerja berkembang lebih cepat daripada kapasitas input tenaga kerja.

Menurutnya, lembaga pendidikan seharusnya memberikan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Namun, sayangnya, lembaga tersebut seringkali tertinggal dalam merespons kebutuhan pasar. Kurikulum yang dirancang mungkin tidak selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan di dunia industri.

Prof. Omas memperingatkan bahwa pengangguran mengakibatkan berhentinya produksi. Angkatan kerja yang menganggur saat ini akan menjadi beban jika terjadi pengangguran dalam skala besar di masa depan. Dampaknya, pencapaian Indonesia Emas menjadi tidak tercapai jika satu generasi menjadi sumbat pembangunan. Sementara itu, angkatan kerja diharapkan dapat menjadi basis pertumbuhan ekonomi untuk mencapai Indonesia Emas.

Cara Agar Gen Z Tidak Menganggur

1. Kolaborasi

Menurut Prof. Omas, dalam menangani permasalahan ini, institusi terlibat seperti pendidikan, pelatihan vokasional, tenaga kerja, dan pemerintah perlu bekerja sama secara kolaboratif dan bersinergi. Etos kerja harus dikembangkan untuk memastikan tenaga kerja siap menghadapi dinamika pasar kerja. Selain itu, institusi pendidikan harus terus memperbarui kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri.

2. Perbarui Kurikulum

Tenaga kerja harus proaktif dalam meningkatkan keterampilan. Di sisi lain, pemerintah harus berperan dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung dunia pendidikan, termasuk memperbarui kurikulum. Namun, pendidikan formal saja tidak cukup. Sertifikasi vokasional dan pelatihan tambahan sangat diperlukan untuk melengkapi kompetensi lulusan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah menyadari pentingnya hal ini dengan mengakui sertifikat vokasional sebagai bagian dari human capital yang dimiliki oleh pencari kerja.

3. Memperluas Koneksi SMK dan Industri

Prof. Omas menambahkan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan bentuk formal dari pendidikan vokasi. Dunia pendidikan masih membutuhkan keahlian vokasional melalui sekolah kejuruan dan tetap relevan untuk menghasilkan angkatan kerja yang kompeten dalam industri. Hal ini dapat dicapai dengan memperluas koneksi langsung antara SMK dengan dunia industri untuk terlibat dalam membangun kurikulum SMK secara berkala.

Prof. Omas memberi contoh industri sepeda BMW di Jerman, yang melibatkan sekolah kejuruan dalam membuat atau sebagai manufaktur spare part dari industrinya dengan cara melatih sekolah kejuruan untuk membuatnya dan memberikan gaji sesuai harga pasar kepada siswa sekolah kejuruan. Namun, di Indonesia, dunia pendidikan vokasi masih jauh dan sangat jauh dari dunia manufaktur/industri.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved