Glester Terakhir di Papua Diperkirakan Akan Hilang Sebelum 2026
Tanggal: 16 Mei 2024 20:47 wib.
Glester atau lapisan es tropis terakhir indonesia yang berada di puncak Jaya, Papua dengan luas sekitar 119,32 km2, diperkirakan akan hilang sebelum tahun 2026. Hal ini disebabkan karena suhu global yang semakain meninggkat, serta lokasi glester yang berada pada ketinggian yang cukup rendah yaitu 4.884 mdpl. Koordinator Bidang Litbang Klimatologi BMKG, Dr. Donaldi permana mengatakan, penyusutan glester di puncak Jaya sudah terjadi sejak 1850.
Pada bulan Desember 2022, ketebalannya telah menyusut menjadi 6 meter, dari 8m pada tahun sebelumnya dan 22m pada tahun 2016. Hilangnya lapisan es di Puncak Jaya akan berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan di kawasan itu, kata Dwikorita Karnawati, Direktur Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nasional.
“Ekosistem di sekitar lapisan es permanen rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut,” ujarnya. Perubahan iklim, yang menyebabkan pemanasan global, telah menyebabkan hilangnya es gletser dengan cepat, katanya. Perubahan lingkungan juga menjadi faktor yang turut mempercepat ancaman kepunahan glester di Papua.
Dan fenomena El Niño yang terjadi secara berkala cenderung membawa kondisi Indonesia menjadi lebih hangat dan kering, sehingga mengurangi curah hujan dan meningkatkan penguapan. Pada gilirannya, hal ini semakin menyusutkan lapisan es. “Gletser mungkin akan hilang sebelum tahun 2026, atau bahkan lebih cepat, dan El Niño dapat mempercepat proses pencairan,” kata Donaldi Sukma Permana, ahli iklim, kepada Reuters.
Badan meteorologi mengatakan El Niño terkuat yang pernah tercatat, pada tahun 2015 dan 2016, mempercepat penurunan gletser hingga 5 juta per tahun. Dengan ketinggian 4884m, Puncak Jaya, juga dikenal sebagai Piramida Carstensz, adalah gunung tertinggi di Indonesia, dan bagian dari pegunungan yang membentang di Papua. Gletser ini pertama kali didokumentasikan oleh penjelajah Eropa pada awal abad ke-20 dan sejak itu menarik banyak ilmuwan, peneliti, dan pecinta alam yang mengagumi keberadaannya di negara tropis.
Pada tahun 2010, tim ilmuwan dari Ohio State University dan lembaga Indonesia mengebor inti es dari gletser dan menemukan bukti sejarah panjangnya, dan memperkirakan gletser tersebut telah ada setidaknya selama 5.000 tahun. Mereka juga menemukan bukti kepekaannya terhadap perubahan iklim. Pemanasan global tidak hanya meningkatkan suhu, tetapi juga mengubah ketinggian hujan yang berubah menjadi salju, seperti yang dijelaskan dalam sebuah artikel di situs web universitas. Jadi, hujan kini turun pada ketinggian yang biasa menjadi tempat turunnya salju dan mengisi kembali es di gletser.
“Jika Anda ingin mematikan gletser, cukup beri air di atasnya,” kata Lonnie Thompson, profesor di Ohio State University pada tahun 2019. “Air pada dasarnya menjadi seperti bor air panas. Ia mengalir menembus es hingga ke batuan dasar,” kata Thompson, yang merupakan penulis senior studi tentang gletser yang diterbitkan di National Academy of Sciences. Tim Ohio State tahun 2010 juga menemukan jejak polutan seperti timbal dan belerang di inti es, yang menunjukkan pengaruh manusia terhadap lingkungan.
Gletser tersebut terletak di dekat tambang besar tembaga dan emas yang dioperasikan oleh PT Freeport Indonesia, anak perusahaan Amerika yang dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Donaldi, dari Badan Meteorologi Indonesia, mengatakan es di gletser Puncak Jaya telah menipis sekitar 2,5 juta per tahun antara tahun 2016 dan 2022. Dia mengatakan tahun lalu lapisan es seluas sekitar 0,23 kilometer persegi dan terus mencair. “Dampak nyata lain dari mencairnya es di gunung tersebut adalah kontribusinya terhadap kenaikan permukaan air laut global,” yang menurut Donaldi dapat berdampak pada jutaan orang di wilayah pesisir dataran rendah. Mencairnya es akan mengubah flora dan fauna di gunung tersebut, kata Rizaldy Boer, pakar manajemen risiko iklim di Institut Pertanian Bogor.