Sumber foto: Google

Gempar! Aceh Tamiang “Seret” Lahan Huntara 10 Hektare, Korban Banjir Masih Menunggu Rumah Sementara

Tanggal: 20 Des 2025 23:12 wib.
Jakarta – Warga Aceh Tamiang yang rumahnya hancur diterjang banjir bandang mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan mereka setelah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang baru mengusulkan lahan untuk pembangunan hunian sementara (huntara) sepekan setelah bencana besar terjadi. Meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa lahan seluas 10 hektare sudah diajukan, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan korban yang terus hidup dengan kondisi rumah rusak atau tinggal di tenda seadanya. Liputan6

Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Pemkab Aceh Tamiang telah mengajukan lahan untuk huntara di area perkebunan milik PTPN III. Lahan seluas 10 hektare itu direncanakan untuk menampung masyarakat dari dua kecamatan terdampak, yaitu Kecamatan Karang Baru dan Tamiang Hulu. Namun hingga kini, keputusan dari pemilik lahan dan kelanjutan proses pembangunan masih menunggu persetujuan serta pemeriksaan aspek mitigasi bencana. Antara News Aceh

Masyarakat yang menjadi korban mendesak agar proses pembangunannya dipercepat. “Kami sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah rusak, banjir sudah menyapu semua barang kami, namun pemerintah baru saja mengusulkan lahan. Apa ini disebut cepat?” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya. Banyak dari mereka sekarang tidur tanpa fasilitas memadai, terpapar cuaca ekstrem, dan terus berharap ada jawaban nyata dari aparatur negara.

Proses Pengajuan Lahan yang Molor

Abdul menjelaskan bahwa usulan lahan telah diserahkan kepada pihak PTPN III dan selanjutnya akan ditinjau bersama BNPB serta sejumlah instansi terkait. Tahapan ini termasuk pemeriksaan mitigasi bencana, untuk memastikan lokasi huntara aman dari ancaman banjir susulan atau bencana lainnya. “Kami harus memastikan bahwa tempat tinggal sementara ini tidak memperparah penderitaan korban dengan potensi bencana baru,” katanya. Antara News Aceh

Namun, respons itu justru memicu kritik tajam dari warga dan sejumlah aktivis kemanusiaan. Mereka menilai pendekatan formal yang berbelit hanya menunda bantuan yang sangat dibutuhkan. Terlebih jumlah rumah rusak dan nyawa yang terdampak semakin menunjukkan urgensi realisasi hunian saat ini. Laporan terbaru BNPB menyebutkan, ribuan rumah rusak di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya, sementara ratusan bahkan telah mengungsi tanpa perlindungan layak. CNA

Korban Banjir di Aceh dan Sumatera Masih Terlantar

Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatera Utara dan Barat telah menyebabkan lebih dari seribu orang tewas, ratusan lainnya masih hilang, dan ratusan ribu warga mengungsi tanpa rumah. Pemerintah pusat sendiri tengah menyiapkan skema bantuan sosial, termasuk tunjangan harian dan program hunian tetap, yang akan dibangun setelah tahap huntara selesai. Namun bagi warga Aceh Tamiang, janji besar itu terasa jauh dari kenyataan. CNA

Di tengah polemik soal lokoasi huntara, beberapa warga memilih kembali tinggal di rumah yang rusak berat karena tidak tahan lagi tinggal di tenda atau rumah keluarga lain. “Setiap hari kami berdoa badai tidak datang lagi, karena kita tidak tahu mau lari ke mana,” kata seorang ibu dengan mata berkaca-kaca.

Pilihan yang Terbatas bagi Korban

Dalam kesempatan penjelasannya, Abdul Muhari menyebut dua opsi yang tersedia bagi masyarakat terdampak: tinggal di huntara yang akan dibangun jika lahan disetujui, atau menetap sementara di rumah sanak keluarga. Bagi yang memilih opsi kedua, pemerintah memberikan bantuan berupa dana tunggu hunian sebesar Rp600 ribu per keluarga per bulan, sampai hunian permanen siap dibangun. Liputan6

Bantuan ini dinilai tidak sebanding dengan beban hidup warga yang kehilangan semua asetnya. Aktivis sosial mengatakan dana sebulan tidak mencukupi untuk biaya hidup tambahan, apalagi untuk biaya rekonstruksi rumah mereka.

Apa Dampaknya Pada Warga?

Keadaan ini membuat rasa frustrasi semakin kentara di komunitas lokal. Para korban yang kehilangan tempat tinggal secara langsung juga harus bergelut dengan masalah pasokan air bersih, sanitasi, dan kesehatan. Banyak keluarga yang tetap tinggal di kondisi tidak layak karena merasa harus bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Situasi ini memperlihatkan ketidaksiapan institusi pemerintahan dalam respons darurat yang cepat dan terkoordinasi. Liputan6

Para kritikus bahkan mendesak agar pemerintah mempercepat pembangunan hunian sementara secara massal tanpa menunggu proses birokrasi yang berliku agar tragedi Aceh Tamiang tidak berulang di tempat bencana lainnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved