Sumber foto: iStock

Gelombang PHK Besar-Besaran Dipicu AI: Ketika Teknologi Mulai Ambil Alih Pekerjaan Manusia

Tanggal: 20 Jun 2025 14:02 wib.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara global diperkirakan akan semakin meluas, dan kali ini penyebabnya bukan semata-mata karena gejolak ekonomi atau tekanan pasar internasional. Penyebab utama yang mulai mendominasi adalah kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih dan mampu menggantikan peran manusia dalam banyak lini pekerjaan.

Banyak perusahaan besar, terutama di sektor teknologi, kini mulai mengandalkan AI untuk meningkatkan efisiensi operasional. Imbasnya, mereka pun melakukan pengurangan tenaga kerja karena berbagai tugas yang dulunya hanya bisa diselesaikan oleh manusia, kini bisa dikerjakan oleh mesin dan algoritma secara lebih cepat, murah, dan presisi.

Salah satu contoh terbaru datang dari perusahaan keamanan siber asal Amerika Serikat, CrowdStrike, yang pada Mei lalu melakukan pemangkasan tenaga kerja sebanyak 5% dari total karyawannya. Dalam pernyataan resminya, perusahaan menyebut bahwa keputusan ini berkaitan langsung dengan meningkatnya efisiensi operasional berkat penerapan teknologi AI di berbagai lini kerja.

CrowdStrike bukan satu-satunya. Fenomena ini ternyata terjadi di banyak perusahaan teknologi raksasa lain yang mulai menjadikan AI sebagai solusi strategis jangka panjang. Tren ini sekaligus mengindikasikan bahwa AI tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi telah mengambil alih peran penting dalam pelaksanaan tugas-tugas profesional.

AI Bukan Lagi Sekadar Alat, Tapi Pelaku Utama

CEO dari platform e-commerce global Shopify, Tobi Lütke, bahkan mengeluarkan pernyataan yang cukup tegas. Ia menyatakan bahwa setiap pengajuan untuk penambahan tenaga kerja baru hanya akan disetujui jika si manajer bisa membuktikan bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat diotomatisasi oleh AI.

“AI kini bukan hanya menjadi penasihat. Ia telah menjadi pelaksana langsung berbagai pekerjaan, terutama dalam melayani merchant kami,” ujar Lutke, seperti dikutip dari NBCNews, Kamis (19/6/2025). Ia menyebutkan bahwa ini bukan lagi perubahan kecil, melainkan revolusi besar yang mengubah cara kerja bisnis modern.

Di sektor pendidikan digital, perusahaan pembelajaran bahasa populer Duolingo juga telah mengambil langkah serupa. CEO-nya, Luis von Ahn, secara terbuka menyampaikan dalam memo internal kepada para karyawan bahwa perusahaan akan secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kontraktor dan menggantikannya dengan AI.

“Kontraktor hanya akan digunakan jika AI benar-benar tidak mampu menangani pekerjaan tersebut,” tulis Ahn dalam pesannya pada bulan Mei. Ia menambahkan bahwa penambahan jumlah pegawai kini harus dipertimbangkan dengan sangat ketat, dan hanya akan dilakukan jika otomatisasi tidak lagi memungkinkan.

Langkah Ekstrem: 40.000 Karyawan Akan Dilepas

Langkah yang lebih agresif bahkan datang dari perusahaan telekomunikasi raksasa asal Inggris, BT Group. CEO perusahaan tersebut telah mengumumkan rencana besar untuk memangkas sekitar 40.000 pekerja dalam waktu 10 tahun ke depan. Ia mengakui bahwa angka tersebut pun mungkin belum sepenuhnya mencerminkan potensi penghematan yang bisa diperoleh dari pemanfaatan AI dalam jangka panjang.

Artinya, peran manusia dalam struktur perusahaan-perusahaan besar mulai benar-benar dipertanyakan, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat diproses secara otomatis. Tidak hanya pekerjaan kasar atau administratif, bahkan pekerjaan yang membutuhkan pemikiran kompleks kini mulai digantikan oleh sistem AI yang terus berevolusi.

Ancaman dan Tantangan Baru di Era Otomatisasi

Fenomena ini menandai transformasi besar dalam dunia kerja global. Di satu sisi, AI memang menjanjikan efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Namun di sisi lain, hadir pula risiko besar terhadap stabilitas pekerjaan manusia. Banyak karyawan yang sebelumnya merasa aman di bidangnya, kini mulai terancam kehilangan pekerjaan hanya karena peran mereka telah digantikan oleh sistem otomatis.

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi negara-negara berkembang yang memiliki jumlah tenaga kerja melimpah namun belum sepenuhnya siap dengan perubahan teknologi yang cepat. Tanpa adaptasi dan peningkatan keterampilan digital, banyak pekerja bisa terpinggirkan dalam pasar kerja yang semakin kompetitif dan berbasis teknologi.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Solusi jangka pendek dan jangka panjang harus segera dirancang. Pemerintah, pelaku industri, hingga institusi pendidikan perlu bersinergi untuk menciptakan ekosistem kerja baru yang lebih adaptif terhadap kemajuan teknologi.

Pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) menjadi dua pendekatan penting yang perlu dilakukan secara masif. Dunia pendidikan pun harus segera menyesuaikan kurikulum agar mencetak lulusan yang mampu bersaing di era AI, bukan yang rentan digantikan oleh AI.

Sementara itu, para pekerja juga harus aktif membekali diri dengan keterampilan baru, terutama yang terkait dengan teknologi, data, dan kreativitas—area yang masih sulit digantikan oleh mesin sepenuhnya.

Kesimpulan: AI adalah Peluang Sekaligus Ancaman

Transformasi digital berbasis AI sedang melaju pesat. Apa yang dulu hanya dibayangkan dalam film fiksi ilmiah, kini telah menjadi realitas di dunia kerja. Teknologi ini mampu membantu perusahaan bekerja lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih hemat. Namun di sisi lain, ia juga menimbulkan dampak besar bagi keberlangsungan pekerjaan manusia.

Apakah kita akan menjadi korban dari gelombang otomatisasi ini, atau justru memanfaatkannya untuk berkembang? Jawabannya tergantung pada seberapa cepat kita bisa beradaptasi dan bersiap menghadapi masa depan kerja yang telah berubah selamanya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved