Sumber foto: iStock

Gelombang Panas Laut Besar Melanda Asia Tenggara dan Pasifik Sepanjang 2024, Apa Dampaknya untuk Kita?

Tanggal: 8 Jun 2025 14:40 wib.
Wilayah laut seluas sekitar 40 juta kilometer persegi yang membentang di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik mengalami gelombang panas laut yang signifikan sepanjang tahun 2024. Luas area ini setara dengan lima kali ukuran Benua Australia, dan hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang berjudul State of the Climate. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius karena berpengaruh langsung terhadap kondisi iklim dan kehidupan di kawasan tersebut.

Menurut laporan, suhu rata-rata di wilayah ini naik sebesar 0,48 derajat Celsius jika dibandingkan dengan periode referensi 1991 hingga 2020. Kenaikan suhu ini bukan hanya angka statistik biasa, tetapi berbanding lurus dengan munculnya berbagai bencana alam yang melanda kawasan tersebut, seperti longsor di Filipina, banjir di Australia, serta mencairnya gletser yang ada di Indonesia. Kondisi ini jelas menunjukkan betapa rentannya kawasan Asia Tenggara dan Pasifik terhadap perubahan iklim yang ekstrem.

Celeste Saulo, Sekretaris Jenderal WMO, memperingatkan bahwa kenaikan permukaan laut yang terjadi menjadi ancaman eksistensial bagi negara-negara kepulauan di wilayah ini. Ia menegaskan, "Kita hampir kehabisan waktu untuk membalikkan keadaan." Pernyataan ini menjadi peringatan keras bahwa tanpa tindakan cepat, dampak buruk perubahan iklim akan semakin sulit dikendalikan.

Kenaikan permukaan laut di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik mencapai hampir 4 milimeter per tahun, lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang sebesar 3,5 milimeter per tahun. Kenaikan ini berkontribusi pada peningkatan risiko banjir pesisir dan erosi yang lebih parah, mengancam kehidupan jutaan penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Gelombang panas laut juga menyebabkan dampak serius pada ekosistem bawah laut. Salah satunya adalah kejadian pemutihan karang massal kelima yang terjadi di Great Barrier Reef, Australia, sejak tahun 2016. Pemutihan karang ini merupakan respon langsung karang terhadap panas ekstrem di permukaan laut yang menyebabkan mereka stres dan kehilangan warna. Jika tren ini terus berlanjut, ekosistem terumbu karang yang kaya keanekaragaman hayati ini bisa mengalami kerusakan permanen.

Selain itu, berbagai bencana ekstrem tercatat terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik sepanjang 2024. Filipina mengalami longsor dan banjir hebat pada Januari dan Februari yang menyebabkan sedikitnya 93 korban jiwa. Australia mencatat suhu tinggi ekstrem pada bulan Agustus yang memecahkan rekor musim panas sebelumnya. Singapura dan Malaysia juga dilanda banjir besar yang mengakibatkan 137 ribu orang mengungsi dan enam orang meninggal dunia. Sementara itu, banjir bandang melanda Sumatra dan wilayah utara Australia pada awal tahun.

Kehilangan es di Papua juga menjadi sorotan serius. Para ahli memperkirakan gletser di sana akan mencair sepenuhnya pada tahun 2026, yang menjadi indikasi nyata perubahan iklim sedang berlangsung. Selain itu, Filipina dilanda 12 siklon tropis yang menyebabkan kerugian finansial mencapai US$430 juta. Musim salju di Australia juga berakhir lebih cepat dari biasanya, menandakan gangguan pola iklim yang signifikan.

Ben Churchill, Direktur WMO untuk wilayah Asia-Pasifik, menegaskan bahwa laporan ini adalah peringatan nyata bagi dunia. Ia menyatakan, “Kita tengah menghadapi kejadian-kejadian iklim ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Pernyataan ini menjadi seruan bagi negara-negara di kawasan dan dunia internasional untuk segera mengambil langkah tegas dalam menghadapi perubahan iklim.

Gelombang panas laut yang terjadi selama Januari, April, Mei, dan Juni 2024 hampir menyelimuti seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Tingkat keparahan gelombang panas ini berkisar dari sedang hingga tinggi, yang menyebabkan banyak spesies laut mengalami stres termal. Stres ini bisa berdampak fatal bagi organisme laut, karena ketika suhu laut melewati ambang batas toleransi mereka, organisme bisa mengalami kematian massal atau terpaksa berpindah habitat.

Asisten Profesor Alex Sen Gupta dari University of New South Wales menjelaskan bahwa lonjakan suhu laut yang dimulai sejak 2023 masih menjadi misteri bagi para ilmuwan. “Kami masih terus berupaya memahami mengapa kenaikan suhu ini sangat drastis dan belum sepenuhnya terjelaskan,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan hanya persoalan masa kini, melainkan juga tantangan sains yang membutuhkan riset berkelanjutan.

Laporan ini sekaligus memperkuat seruan komunitas ilmiah agar aksi iklim segera dipercepat, khususnya di wilayah Asia-Pasifik yang paling rentan. Penanganan perubahan iklim harus dilakukan dengan strategi yang melibatkan mitigasi dan adaptasi untuk mengurangi risiko bencana serta dampak sosial ekonomi yang semakin memburuk.

Gelombang panas laut besar yang melanda Asia Tenggara dan Pasifik pada 2024 bukan hanya fenomena alam biasa. Ini adalah alarm bagi dunia bahwa perubahan iklim sudah berada pada titik kritis yang menuntut respons cepat dan efektif. Melindungi ekosistem laut, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana menjadi langkah utama yang harus diambil demi menjaga kelangsungan hidup generasi mendatang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved