Sumber foto: TIKTOK

Gara-gara Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Pajak Rp 31 Juta, Menkeu Beri Perintah Tegas Bea Cukai

Tanggal: 30 Apr 2024 07:02 wib.
Baru-baru ini, kasus-kasus terkait kebijakan importasi barang memiliki tetangga rakyat Indonesia. Salah satunya adalah kasus yang viral mengenai seorang pria yang harus membayar pajak fantastis senilai Rp 31 juta atas pembelian sepatu bola seharga Rp 10 juta. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan perintah tegas kepada Bea Cukai untuk menangani kasus-kasus tersebut dengan lebih baik.

Menurut Sri Mulyani, kasus tersebut harus menjadi pelajaran penting bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) untuk meningkatkan layanan dan melakukan sosialisasi terkait kebijakan yang menjadi wewenang mereka. Hal ini sejalan dengan mandat undang-undang yang menyatakan bahwa Ditjen Bea Cukai bertanggung jawab sebagai "border protection, revenue collector, trade facilitator, dan industrial assistance."

Sri Mulyani pun meminta agar Ditjen Bea Cukai lebih proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kebijakan-kebijakan tersebut. Selain itu, kerjasama dengan para pemangku kepentingan juga diminta agar pelayanan dan penanganan masalah di lapangan dapat berjalan cepat, tepat, dan efektif sehingga memberikan kepastian kepada masyarakat.

Menurut Sri Mulyani, kasus-kasus yang viral di media sosial belakangan ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Seorang pria, yang disebut sebagai Radhika, mengeluhkan bahwa dirinya harus membayar bea masuk dalam jumlah fantastis yang tidak sebanding dengan harga sebenarnya. Namun, berdasarkan penjelasan resmi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, besaran bea masuk yang ditetapkan dihitung dengan mempertimbangkan denda administrasi atas kesalahan penetapan nilai pabean atau CIF oleh jasa pengirim, dalam hal ini DHL.

Dari kasus ini terungkap bahwa ada indikasi harga yang diberitahukan oleh perusahaan jasa titipan (PJT) lebih rendah dari yang sebenarnya, sehingga petugas Bea Cukai harus mengoreksi untuk keperluan penghitungan bea masuk dan pajaknya. Meskipun demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa laporan tersebut sudah selesai ditangani dan barang yang sempat tertahan sudah diterima oleh pemiliknya.

Selain itu, Sri Mulyani juga menyoroti kasus lain yang menimpa bantuan alat belajar untuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Barang kiriman tersebut sebelumnya diberitahukan sebagai barang kiriman oleh PJT pada 18 Desember 2022. Namun karena proses pengurusan tidak dilanjutkan oleh yang bersangkutan tanpa keterangan apa pun, maka barang tersebut ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD). Setelah diketahui bahwa barang kiriman tersebut merupakan barang hibah, Bea Cukai akan membantu dengan mekanisme fasilitas pembebasan fiskal atas nama dinas pendidikan terkait.

Menanggapi hal ini, Sri Mulyani menekankan agar Ditjen Bea Cukai lebih berperan sebagai penyedia edukasi terkait ketentuan impor. Pemerintah harus lebih gencar dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait aturan-aturan yang berlaku, sehingga kejadian-kejadian seperti ini dapat dihindari.

Menurut data dari DJBC Kemenkeu, besaran bea masuk Rp31,81 juta ditetapkan dengan menghitung adanya denda administrasi atas pengiriman yang dilakukan importir atau jasa kiriman bersangkutan, yakni DHL. Denda administrasi tersebut diberikan karena adanya kesalahan penetapan nilai pabean atau CIF. Meskipun besaran bea masuk yang ditetapkan terkesan fantastis, namun menurut DJBC, besaran tersebut sesuai dengan patokan yang telah ditetapkan.

Dengan kasus-kasus ini, Sri Mulyani berharap agar Ditjen Bea Cukai dapat lebih cermat dalam menangani impor barang, terutama terkait penetapan nilai pabean. Keterbukaan data dan detail mengenai perhitungan bea masuk dan pajak impor juga diharapkan dapat diakses secara terbuka oleh publik melalui situs resmi atau akun media sosial resmi Bea Cukai.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved