Ganti Kurikulum Berkali-Kali, Tapi Kesenjangan Pendidikan Makin Lebar?
Tanggal: 12 Mei 2025 22:22 wib.
Tampang.com | Pemerintah kembali mendorong penerapan Kurikulum Merdeka di seluruh jenjang pendidikan. Namun di saat yang sama, persoalan mendasar seperti kesenjangan kualitas antara sekolah di kota besar dan daerah terpencil masih belum teratasi.
Alih-alih menjadi solusi, perubahan kurikulum berulang kali justru menambah beban bagi guru dan siswa, tanpa disertai dukungan infrastruktur dan pelatihan yang memadai.
Sekolah Maju-Mundur, Tergantung Lokasi dan Akses
Di kota-kota besar, sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap lebih mudah mengadopsi Kurikulum Merdeka. Sebaliknya, di daerah tertinggal, banyak guru masih kebingungan menjalankan model pembelajaran baru karena keterbatasan akses internet, buku, dan pelatihan.
“Banyak sekolah di pedalaman belum punya komputer, sementara ujian berbasis digital sudah diterapkan. Ini ketimpangan nyata,” ungkap Dina Rosalia, pengamat pendidikan dari LIPI.
Beban Guru Meningkat, Dukungan Minim
Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan guru untuk merancang pembelajaran, tapi di lapangan, banyak guru merasa ditinggal sendiri tanpa pendampingan.
“Kami dituntut kreatif dan mandiri, tapi tanpa pelatihan yang cukup. Ini bukan kemerdekaan, tapi kebingungan,” ujar Rudi, guru SD di Lombok Timur.
Kurikulum Berganti, Masalah Tetap
Sejak 20 tahun terakhir, Indonesia sudah mengalami lebih dari tiga perubahan kurikulum besar. Namun masalah mendasar seperti rendahnya kemampuan literasi dan numerasi, serta ketimpangan antarwilayah, tetap belum terselesaikan.
“Kurikulum hanyalah alat. Tanpa keadilan akses dan kualitas guru yang merata, semua hanya kosmetik,” jelas Dina.
Jalan Keluarnya Bukan Hanya Ganti Nama
Beberapa solusi yang disarankan:
Fokus pada pemerataan kualitas pendidikan, bukan sekadar ganti nama kurikulum
Peningkatan kapasitas guru secara menyeluruh, terutama di daerah 3T
Evaluasi mendalam berbasis data, bukan asumsi politis
Pendidikan Bukan Eksperimen, Tapi Kunci Masa Depan
Kurikulum bisa berubah, tapi anak-anak tidak bisa menunggu. Jika reformasi hanya menjadi wacana tanpa eksekusi adil, maka kesenjangan akan terus membesar, dan generasi penerus kembali jadi korban kebijakan setengah hati.