“Gaji Rp 15 Juta Pasti Sehat dan Pintar?” – Pernyataan Menkes dan Realitas Kesenjangan yang Lebih Rumit
Tanggal: 20 Mei 2025 22:19 wib.
Tampang.com | Sebuah pernyataan dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini memicu polemik dan perdebatan publik. Ia menyatakan bahwa orang yang bergaji Rp 15 juta per bulan "pasti lebih sehat dan lebih pintar" dibanding mereka yang berpenghasilan Rp 5 juta. Menurutnya, jika seseorang tidak sehat atau tidak pintar, maka “mustahil” bisa meraih gaji sebesar itu—gajinya pasti hanya Rp 5 juta.
Pernyataan ini disampaikan dalam konteks Visi Indonesia Emas 2045, di mana kualitas kesehatan dan kecerdasan dianggap sebagai fondasi menuju negara maju. Sekilas, logika ini terdengar masuk akal: individu yang sehat dan cerdas tentu punya peluang lebih besar untuk sukses secara finansial. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, hubungan antara pendapatan, kesehatan, dan pendidikan bukanlah hubungan sebab-akibat yang sederhana.
Korelasi Ada, Tapi Bukan Kausal Tunggal
Dalam teori modal manusia, memang terdapat pandangan bahwa investasi pada kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan berujung pada penghasilan yang lebih tinggi. Orang sehat cenderung lebih aktif, jarang absen, dan lebih efisien dalam bekerja. Sementara itu, pendidikan yang baik membuka akses ke pekerjaan bergaji besar.
Namun, sebaliknya, pendapatan tinggi juga memungkinkan seseorang untuk hidup lebih sehat dan menempuh pendidikan lebih baik. Mereka mampu membeli makanan bergizi, membayar layanan kesehatan berkualitas, dan menyekolahkan anak di institusi yang unggul. Ini menciptakan lingkaran penguatan positif—namun juga bisa menjadi lingkaran setan kemiskinan bagi mereka yang berada di bawah.
Model Ekonomi Kesehatan Grossman bahkan menempatkan kesehatan sebagai modal ekonomi yang perlu diinvestasikan. Tetapi, bagaimana seseorang dapat berinvestasi pada kesehatan jika penghasilannya tak mencukupi untuk kebutuhan dasar?
“Pasti” yang Terlalu Menyederhanakan
Kata “pasti” dalam pernyataan Menkes menjadi titik rawan dalam diskursus ini. Sebab kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa hanya 37,9 persen ibu dari kelompok ekonomi termiskin yang melahirkan di fasilitas kesehatan—jauh dibandingkan 80 persen pada kelompok terkaya. Begitu pula dengan prevalensi stunting balita, yang jauh lebih tinggi di keluarga miskin (43,1 persen) dibandingkan yang kaya (24,1 persen).
Kesenjangan pendidikan juga mencolok. Data Susenas 2021 menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk usia 16–18 tahun di kelompok termiskin hanya 36,42 persen, jauh tertinggal dari kelompok terkaya yang mencapai 64,15 persen. Artinya, anak dari keluarga tidak mampu secara struktural menghadapi tantangan berat untuk mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi—yang kemudian berdampak pada peluang ekonomi mereka.
Faktor Struktural Tak Bisa Diabaikan
Mengaitkan pendapatan dengan atribut personal seperti kecerdasan dan kesehatan secara langsung memang mengandung kebenaran dalam kerangka teori. Tapi menyederhanakan hubungan itu tanpa mempertimbangkan faktor struktural seperti akses, ketimpangan wilayah, dan latar belakang sosial ekonomi justru bisa menutup mata dari akar ketimpangan yang lebih besar.
Pernyataan ini, jika tidak dijelaskan lebih hati-hati, berisiko menyalahkan individu atas kemiskinannya, seolah-olah mereka yang bergaji rendah kurang pintar atau tidak menjaga kesehatannya. Padahal, sistem dan lingkungan memiliki pengaruh besar dalam membentuk kesempatan dan kualitas hidup seseorang.
Visi Indonesia Emas 2045 dengan target pendapatan per kapita Rp 15 juta per bulan tentu adalah aspirasi bersama. Namun untuk mencapainya, dibutuhkan bukan hanya individu yang sehat dan pintar—tetapi juga sistem yang adil dan akses yang merata bagi seluruh warga negara.