FNKSDA Mengkritisi PDNU yang Dinilai Menerima Izin Pertambangan dengan Hangat Tanpa Pertimbangan Sejarah yang Matang dan Berpotensi Merugikan.
Tanggal: 11 Jun 2024 14:37 wib.
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), sebuah organisasi advokasi di lingkaran Nahdlatul Ulama (NU), mengkritisi PDNU yang dinilai menerima izin pertambangan dengan hangat tanpa pertimbangan sejarah yang matang dan berpotensi merugikan. Menurut FNKSDA, banyak anggota Nahdlatul Ulama di tingkat dasar justru menjadi korban dari kegiatan tambang yang diizinkan oleh PBNU.
Menurut siaran pers yang dikeluarkan FNKSDA pada Ahad, 9 Juni 2024, mereka menyatakan bahwa sikap PBNU yang mengeluarkan izin bagi organisasi keagamaan untuk mengelola tambang dianggap tidak berdasar sejarah dan patut untuk dicurigai. FNKSDA menegaskan bahwa jika PBNU berkeinginan untuk mencapai kemandirian ekonomi melalui bisnis tambang, hal tersebut harus diimbangi dengan kemandirian yang dirasakan oleh jamaahnya, yakni warga Nahdliyin yang sebagian besar terdiri dari petani kecil, petani tunakisma, dan buruh upahan, yang seringkali disebut sebagai kaum mustadl'afiin. Mereka menegaskan bahwa cita-cita kemandirian NU secara kolektif haruslah diiringi oleh kemandirian yang dirasakan secara kolektif pula.
FNKSDA juga mengungkapkan bahwa korban dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan bukanlah golongan elit PBNU, melainkan masyarakat di wilayah pertambangan yang mayoritasnya adalah warga Nahdliyin. Mereka mencontohkan peristiwa di Tumpang Pitu, Kendeng, Wadas, dan Trenggalek sebagai contoh nyata dari dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat setempat akibat kegiatan tambang tanpa pengawasan yang memadai. Mereka menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah tersebut justru harus menghadapi dampak destruktif dari industri pertambangan tanpa dukungan dari PBNU, organisasi keagamaan yang selama ini mereka banggakan dan harapkan bisa mendukung serta memperjuangkan kepentingan mereka.
FNKSDA juga menyoroti bahwa sebagian besar elemen masyarakat yang berperan dalam membesarkan NU sebagai sebuah gerakan kolektif adalah para kiai dan ustaz di desa, ibu nyai yang mengelola majelis taklim, guru madrasah, imam masjid, serta seluruh anggota Nahdliyin di tingkat dasar yang bahkan menjadi korban dari kegiatan tambang. Mereka menegaskan bahwa mayoritas dari mereka adalah petani dan pekerja.
FNKSDA menilai pernyataan Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, yang menyatakan bahwa NU membutuhkan pertambangan sebagai salah satu sumber pemasukan, tidak dapat dipercaya begitu saja. Menurut FNKSDA, pernyataan tersebut merupakan kesalahan dalam pemahaman. Mereka menegaskan bahwa PBNU sebelumnya telah mengeluarkan larangan terhadap kegiatan tambang dalam muktamar di Jombang pada tahun 2015, dan bahwa pernyataan Gus Yahya tersebut tidak sejalan dengan kebijakan yang telah ditegakkan oleh PBNU di masa lalu.
Dalam pandangan FNKSDA, penerimaan izin pertambangan oleh PBNU tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang mungkin terjadi dapat merugikan masyarakat Nahdliyin di tingkat dasar yang menjadi bagian integral dari NU. Oleh karena itu, mereka menyerukan perlunya pertimbangan yang lebih komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat Nahdliyin sebelum mengeluarkan izin untuk kegiatan tambang, demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan bersama.