Sumber foto: google

Film 'Vina Sebelum 7 Hari' Diadukan ke Bareskrim karena Bikin Gaduh

Tanggal: 29 Mei 2024 21:04 wib.
Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) telah mengadukan film layar lebar 'Vina: Sebelum 7 Hari' ke Bareskrim Polri terkait dugaan membuat keonaran. Ketua ALMI, Zainul Arifin, menyatakan bahwa pengaduan tersebut dilakukan karena film Vina dinilai membuat kegaduhan saat proses hukum masih berjalan dan belum final.

Zainul mencatat bahwa perdebatan yang terjadi di media sosial telah menimbulkan kegaduhan dan multitafsir dalam proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Dalam keterangan tertulisnya, ia menegaskan bahwa viralitas kasus ini dapat menimbulkan potensi kekaburan dan mengganggu fokus aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus ini secara presisi.

Menurut Zainul, berbagai opini yang muncul pasca penayangan film itu dirasa sangat meresahkan. Hal ini disebabkan banyak tuduhan liar yang ditujukan kepada pihak-pihak di luar kasus tersebut. Opini yang berkembang juga membuat berbagai kalangan merasa dituduh dan dirugikan oleh penayangan film yang telah meresahkan serta mengganggu jalannya penegakan hukum.

Namun, Zainul menilai bahwa kasus film Vina berbeda dengan kasus kopi sianida yang juga pernah difilmkan. Ia menyatakan bahwa perbedaannya terletak pada pembuatan film terkait kasus kopi sianida yang baru dilakukan setelah kasus tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.

Meskipun demikian, ia menyatakan dukungannya untuk pengusutan kasus pembunuhan Vina secara objektif dan netral. Selain itu, ia juga meminta agar pihak yang memproduksi film tersebut dapat memberikan klarifikasi terkait pembuatan karya seni tersebut.

Zainul menyatakan bahwa pihak ALMI menilai adanya unsur kesengajaan berupa pembiaran perkembangan isu dan fitnah yang disadari oleh pihak produksi film guna membiarkan terjadinya promosi alami dari film.

Dalam pengaduannya, Zainul mengadukan pihak-pihak pembuat film tersebut dengan sangkaan Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45A Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 31 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.]]

ALMI menyoroti kekhawatiran terkait dampak sosial dan hukum yang ditimbulkan oleh film tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, pengaduan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan karya seni dalam mengangkat isu-isu kontroversial yang terkait dengan proses hukum yang sedang berjalan.

Sebuah film tidak hanya merupakan hiburan semata, tetapi juga dapat memengaruhi opini masyarakat dan mengganggu proses penegakan hukum apabila tidak ditangani dengan bijaksana. Oleh karena itu, penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan karya seni untuk mempertimbangkan dampak sosial dan hukum yang mungkin ditimbulkan oleh karyanya.

Kasus ini juga menunjukkan kompleksitas hubungan antara karya seni dan penegakan hukum, serta bagaimana karya seni tersebut dapat menjadi bagian dari kontroversi yang melibatkan masyarakat luas. Diskusi tentang batasan kebebasan berekspresi artistik dan tanggung jawab sosial dalam membuat karya seni menjadi semakin relevan dalam konteks kasus ini.

Seiring perkembangan teknologi dan media, pengaruh sebuah karya seni dapat menyebar dengan cepat dan luas, menciptakan dampak yang lebih besar daripada sebelumnya. Oleh karena itu, perlindungan terhadap proses hukum dan keberlangsungan pengadilan harus menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan karya seni yang menyangkut kasus-kasus hukum aktual.

Mengingat kontroversi yang melingkupi kasus ini, akan menjadi penting bagi penegak hukum dan pihak terkait dalam industri perfilman untuk bermitra dalam menemukan solusi yang menghormati kebebasan berekspresi seniman tetapi juga melindungi integritas proses hukum.

Sementara ALMI telah mengambil langkah hukum dengan mengadukan film 'Vina: Sebelum 7 Hari' ke Bareskrim Polri, pertanyaan penting tentang peran dan tanggung jawab karya seni dalam konteks hukum tetap harus ditinjau secara mendalam. Keseimbangan antara kebebasan berekspresi seniman dan kepentingan publik dalam menjaga proses hukum yang adil harus senantiasa diperhatikan.

Kasus ini juga mempertegas perlunya kerjasama antara pihak-pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum, industri perfilman, dan masyarakat, dalam memahami dampak dari sebuah karya seni terhadap proses hukum dan keadilan. Dengan demikian, kesadaran akan implikasi sosial dan hukum dari karya seni dapat menjadi landasan bagi pengaturan yang lebih baik dalam industri perfilman di masa depan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved