Festival Bedhayan 2025 Suguhkan Tarian Meditatif sebagai Ruang Renungan dan Pelestarian Budaya
Tanggal: 12 Agu 2025 11:35 wib.
Di tengah hiruk pikuk kota, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada Sabtu sore berubah menjadi ruang hening yang sarat makna. Festival Bedhayan 2025 kembali menghadirkan seni tari klasik Jawa yang penuh filosofi dan nuansa spiritual, kali ini dengan tema “Panca Utsava Bedhayan”. Bukan sekadar pertunjukan, festival ini menjadi ajang bagi para penari, seniman, dan penikmat budaya untuk bersama-sama merenungkan harmoni hidup melalui gerak tari yang anggun dan meditatif.
Penasihat Festival Bedhayan dari Swargaloka, Suryandoro, menjelaskan bahwa Bedhayan memiliki karakter yang membedakannya dari tari Jawa lainnya. “Bedhayan itu meditatif. Kalau tari Jawa lain kepentingannya untuk hiburan atau penyambutan. Tarian ini, kalau dirasakan dengan baik, membuat kita seolah-olah menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya. Ia menekankan bahwa festival ini juga menjadi upaya menciptakan keseimbangan, baik bagi bangsa maupun budaya, di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.
Ketua panitia Festival Bedhayan 2025, Alyawati Sarwono, mengungkapkan bahwa acara ini lahir dari kekhawatiran akan semakin terbatasnya ruang bagi Bedhayan untuk berkembang. “Bedhayan itu sangat tersegmentasi dan penggemarnya terbatas. Kalau kami tidak mengadakan kegiatan seperti ini, saya khawatir akan punah. Festival ini hadir untuk mewadahi sanggar-sanggar dan para penari, terutama generasi muda,” tuturnya.
Festival ini bukan hanya pertunjukan di panggung utama. Sebelumnya, pada 5 Agustus 2025, telah digelar lokakarya “Bedhayan Hagoromo” yang dipandu oleh Maria Darmaningsih dengan pembicara maestro tari Didik Nini Thowok. Lokakarya tersebut melibatkan perwakilan dari berbagai grup tari, menjadi ajang pembelajaran sekaligus ruang bertukar gagasan antarpenari lintas generasi.
Pembukaan festival berlangsung megah namun intim. Tari Enggang, yang terinspirasi budaya Suku Dayak Kenyah, dibawakan oleh Armonia Choir Indonesia di bawah pimpinan Giok Hartono. Setelah itu, 15 komunitas dan sanggar seni tampil dalam dua kategori: pelestarian Bedhayan tradisional dan pengembangan karya baru yang memadukan unsur kontemporer tanpa kehilangan ruh aslinya. Setiap gerakan mengalir seperti mantra visual, menyampaikan pesan tentang keselarasan dan pengabdian.
Keindahan dan kemurnian gerak para penari diamati langsung oleh jajaran maestro dan pakar tari tradisional, di antaranya Theodora Retno Maruti, GKR Wandansari Koes Moertiyah, KP Sulistyo S. Tirtokusumo, Wahyu Santoso Prabowo, serta Didik Nini Thowok. Kehadiran mereka bukan sekadar sebagai penilai, tetapi juga penjaga warisan agar kualitas seni tetap terjaga.
Festival Bedhayan 2025 juga memberi ruang untuk sektor lain yang turut menopang ekosistem budaya. Di area luar gedung, Pasar UMKM menghadirkan ragam produk lokal mulai dari kuliner tradisional, wastra, hingga aksesori. Kehadiran pasar ini menegaskan bahwa pelestarian budaya dan pemberdayaan ekonomi lokal bisa berjalan beriringan.
Bagi penonton yang hadir, Festival Bedhayan menjadi lebih dari sekadar tontonan. Ia menjadi pengalaman batin yang mengajak untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan merasakan bahwa dalam setiap hentakan kaki dan goyangan tangan para penari, ada doa yang mengalir, ada warisan yang dijaga, dan ada cinta yang dipersembahkan untuk bumi pertiwi.