Fenomena Miskin Ekstrem di Tengah Gempuran Proyek Raksasa, Siapa yang Terlupakan?
Tanggal: 1 Jun 2025 15:20 wib.
Tampang.com | Di tengah gegap gempita pembangunan proyek-proyek raksasa yang menghiasi ruang-ruang publik, narasi tentang kemajuan ekonomi kerap disuarakan dengan lantang oleh berbagai pihak. Namun di balik deretan infrastruktur megah dan angka-angka pertumbuhan yang impresif, realita di lapangan masih menunjukkan luka lama yang belum sembuh: kemiskinan ekstrem yang mencengkeram jutaan warga.
Angka Miskin Ekstrem Tak Kunjung Turun, Pemerintah Dikejar Target
Pemerintah menargetkan kemiskinan ekstrem bisa ditekan hingga nol persen dalam beberapa tahun ke depan. Namun, realitasnya jauh dari target tersebut. Ribuan kepala keluarga di berbagai pelosok negeri masih hidup tanpa akses listrik layak, sanitasi memadai, apalagi pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
“Rumah kami sering banjir, air bersih pun susah. Kadang kami cuma makan satu kali sehari,” kata Riska, seorang ibu muda dari wilayah pesisir Jawa Tengah yang hingga kini belum tersentuh program bantuan apapun.
Data terkini menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan ekstrem masih banyak tersebar di kawasan timur Indonesia, serta daerah-daerah padat penduduk di Jawa dan Sumatera. Ironisnya, sebagian dari wilayah itu justru berdekatan dengan proyek strategis nasional.
Ketimpangan Kian Terang, Rakyat Kecil Terdesak
Masyarakat sipil menyoroti bahwa pembangunan yang terlalu terpusat pada infrastruktur fisik sering kali mengabaikan aspek sosial dan pemerataan. Muncul anggapan bahwa proyek besar hanya menguntungkan investor dan kalangan elite, sementara rakyat kecil tak mendapatkan imbas positif secara langsung.
“Pertumbuhan ekonomi itu penting, tapi jika tidak inklusif, maka hanya akan memperparah ketimpangan,” ujar Arief Handoko, peneliti kebijakan publik.
Ketimpangan itu terasa nyata, terutama di wilayah urban. Di satu sisi, gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan mewah terus tumbuh. Di sisi lain, pemukiman kumuh dan pekerja informal terus bertambah.
Pembangunan Tanpa Rasa, Kebijakan yang Terpusat
Banyak kalangan akademisi menyebut bahwa pembangunan di Indonesia masih bersifat top-down dan kurang mempertimbangkan kebutuhan spesifik masyarakat lokal. Ketika pemerintah pusat meluncurkan proyek-proyek masif, tidak sedikit daerah yang justru tidak siap mengelola dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.
Hal ini terlihat dari relokasi warga tanpa solusi jangka panjang, serta minimnya pendampingan ekonomi bagi keluarga yang terdampak proyek pembangunan.
“Pembangunan seharusnya bukan hanya soal membangun jalan atau bandara, tapi juga soal membangun manusia dan martabatnya,” kata Dini Ayu, seorang aktivis sosial dari Nusa Tenggara Timur.
Solusi Butuh Pendekatan Akar Rumput, Bukan Sekadar Data
Para pengamat menyarankan agar pemerintah mengubah pendekatan dari sekadar mengejar angka statistik menjadi memahami realitas keseharian warga miskin. Pendataan berbasis komunitas, penguatan ekonomi lokal, serta kolaborasi lintas sektor menjadi beberapa kunci untuk mempercepat pengentasan kemiskinan ekstrem.
Program-program bantuan juga harus didesain lebih fleksibel dan kontekstual, mengingat karakteristik daerah yang berbeda-beda.
“Selama pendekatan masih seragam dan sentralistik, maka ketimpangan akan terus bertahan,” jelas Arief.
Miskin di Negeri Kaya Sumber Daya, Ironi yang Terus Berulang
Indonesia bukan negara miskin sumber daya. Dari tambang emas, nikel, hingga pariwisata alam kelas dunia, semua ada. Namun, distribusi kekayaan masih belum adil. Potensi besar itu belum mampu diterjemahkan menjadi kesejahteraan menyeluruh bagi seluruh warga.
Masyarakat berharap agar pembangunan tidak lagi hanya berpihak pada keuntungan ekonomi makro semata, tapi menyentuh langsung kehidupan rakyat di tingkat bawah.
Karena sejatinya, wajah Indonesia yang maju bukan hanya tentang bangunan yang menjulang, tapi tentang warganya yang bebas dari lapar dan kemiskinan.