Euforia Berujung Pidana: Dilema Penanganan Suporter Perusak GBLA
Tanggal: 1 Jun 2025 10:18 wib.
Bandung, Tampang.com – Euforia kemenangan Persib Bandung di Liga 1 2024-2025 pada 24 Mei lalu menyisakan cerita lain. Dua orang suporter Persib Bandung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Bandung atas dugaan perusakan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Aksi perusakan berupa pengambilan rumput dan garis gawang stadion ini menarik perhatian publik, terutama setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengunggahnya di Instagram dengan harapan pelaku dipidana atau dimasukkan ke barak militer, menyebut tindakan tersebut "merusak karakter Suporter Persib".
Kedua suporter tersebut kini dijerat Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang dan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang. Secara hukum positif, tindakan perusakan, apapun alasannya, memang tidak dapat dibenarkan dan telah diatur dalam instrumen pidana. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah memidanakan suporter sepak bola yang melakukan euforia kebablasan adalah langkah yang paling tepat?
Jika merujuk pada hukum positif, penangkapan ini tentu dianggap sudah sesuai prosedur. Akan tetapi, jika suporter sepak bola dipandang sebagai entitas sosial dengan subkultur tersendiri, euforia berlebihan seperti yang terjadi di GBLA bukanlah fenomena baru atau eksklusif milik suporter Persib. Contoh serupa terjadi saat Persija Jakarta juara beberapa tahun lalu, di mana bus Transjakarta dicoret-coret. Bahkan di negara dengan tradisi sepak bola maju seperti Italia, Romanisti (suporter AS Roma) pada tahun 2001 pernah mengambil rumput dan garis gawang Stadion Olimpico saat timnya juara, bahkan melucuti baju pemain sebagai kenang-kenangan. Fenomena serupa, di mana euforia melampaui batas, banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk saat Timnas Indonesia menjuarai SEA Games 2023 yang berujung pawai di jalan protokol Jakarta yang menimbulkan dampak bagi pengguna jalan lain.
Albert Cohen (1955) mengembangkan teori subkultur, di mana kelompok budaya kecil memiliki nilai-nilai tertentu yang mungkin bertentangan dengan budaya dominan. Suporter sepak bola adalah contoh nyata kelompok budaya kecil ini, dengan nilai-nilai yang terkadang dianggap "menyimpang" oleh masyarakat umum—seperti berboncengan tiga tanpa helm atau menaiki atap kendaraan. Bagi suporter, tindakan ini mungkin dianggap biasa, bahkan GBLA mungkin dianggap sebagai "rumah" mereka sendiri. Selain itu, perilaku suporter luar negeri juga sedikit banyak memengaruhi suporter dalam negeri.
Secara prosedural, Pasal 406 KUHP maupun Pasal 170 KUHP adalah delik aduan, yang berarti pelapor seharusnya adalah pemilik barang yang merasa dirugikan. Dalam kasus GBLA, stadion tersebut adalah milik Pemerintah Kota Bandung dan dikelola oleh PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB). Pertanyaan krusialnya adalah, atas dasar laporan siapa polisi menangkap kedua suporter tersebut? Apakah Pemkot Bandung atau PT PBB telah membuat laporan resmi? Mengingat Gubernur Jawa Barat bukanlah pihak yang berhak melaporkan perusakan GBLA hanya berdasarkan unggahan Instagram, pihak penyidik perlu berhati-hati agar langkah hukum yang diambil tidak cacat secara prosedural, yang bisa berujung pada gugatan praperadilan.
Meskipun perusakan fasilitas umum oleh suporter tidak dapat dibenarkan, perlu dipertimbangkan apakah pemidanaan penjara adalah solusi terbaik. Pemenjaraan dapat berisiko membuat pelaku kejahatan "pemula" terpapar nilai-nilai kriminal dari "kriminal karier" yang ada di penjara. Selain itu, ada juga isu anggaran yang diperlukan untuk pemidanaan.
Sebagai alternatif, restorative justice bisa menjadi solusi yang lebih konstruktif. Hal ini bisa berupa penggantian kerugian yang telah mereka lakukan. Jika proses di kepolisian gagal, Kejaksaan Negeri Kota Bandung dapat mempertimbangkan penyelesaian perkara melalui restorative justice sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung No 15 tahun 2020, mengingat tindak pidana yang terjadi tidak menyangkut nyawa.
Hukuman alternatif lain bisa berupa kewajiban melakukan perawatan stadion setiap akhir pekan selama periode tertentu, yang akan membuat pelaku memahami sulitnya merawat fasilitas. PT PBB sebagai pengelola GBLA dan Persib juga bisa mengajak suporter untuk kerja bakti memperbaiki stadion yang telah mereka rusak. Aksi kerja bakti ini berpotensi menciptakan ikatan emosional yang lebih kuat antara klub, suporter, dan stadion. Bahkan, kehadiran Dedi Mulyadi dalam kerja bakti semacam ini, seperti yang ia lakukan dalam pembersihan sungai, dapat meningkatkan citranya di mata suporter Persib dan masyarakat luas.
Langkah yang tepat dalam menangani perilaku suporter sepak bola akan sangat menentukan apakah suporter sebagai subkultur akan menjadi lebih baik, atau justru menimbulkan masalah baru dalam masyarakat luas.