Ekonom Minta Pemerintah Pertahankan QRIS dan GPN Meski Diprotes AS
Tanggal: 29 Apr 2025 10:28 wib.
Pemerintah Indonesia kini melakukan kerjasama dalam bidang Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dengan berbagai operator sistem pembayaran digital yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Tindakan ini merespons kritik yang dilayangkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), yang beranggapan bahwa regulasi QRIS dan GPN menghambat keberadaan operator pembayaran asal Amerika di pasar Indonesia.
Sikap tegas perlu diambil, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia menegaskan bahwa dalam diplomasi perdagangan, khususnya dalam menghadapi tekanan dari negara besar seperti AS, Indonesia tidak seharusnya selalu tunduk pada tuntutan asing. "Indonesia seharusnya dapat bernegosiasi dan tidak harus memenuhi semua yang diminta oleh AS. Kita memiliki hak untuk membantah semua tuduhan yang tidak terbukti," ujarnya saat diwawancarai oleh Kompas pada tanggal 26 April 2025.
QRIS dan GPN dirancang untuk mempermudah transaksi antara pelaku ekonomi di tanah air. QRIS, sebagai platform, memungkinkan konsumen dan pelaku usaha dari berbagai dompet digital seperti GoPay, OVO, dan ShopeePay untuk saling terhubung melalui satu kode yang standar. Bahkan, QRIS kini mulai digunakan dalam transaksi lintas negara di kawasan ASEAN, tanpa terlalu bergantung pada jaringan pembayaran internasional seperti Visa atau Mastercard. Di sisi lain, GPN berperan sangat penting dalam transaksi domestik, karena semua data yang terkait diproses di Indonesia oleh Bank Indonesia (BI). Dengan GPN, biaya administrasi menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang dikenakan oleh Visa dan Mastercard. Melalui sistem ini, Indonesia mampu meminimalkan aliran keuntungan ke luar negeri dan sekaligus memperkuat kemandirian infrastruktur keuangan nasional.
Aspek kedaulatan data juga menjadikan pengembangan QRIS dan GPN semakin relevan. Faisal menegaskan, "Jika kita menggunakan QRIS dan GPN, maka semua data transaksi akan tetap tersimpan di dalam negeri. Sebaliknya, jika melalui Visa atau Mastercard, ada kemungkinan data kita bocor ke luar negeri, ini berkaitan dengan keamanan dan kedaulatan data negara kita."
Faisal juga menyampaikan bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menyerah dan mengikuti keinginan AS terkait QRIS dan GPN. "Kita perlu menjaga kepentingan nasional, agar kita tidak mudah terpuruk hanya karena tekanan dari salah satu negara yang berkuasa," tegas Faisal.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), turut sependapat dengan Faisal. Ia menekankan bahwa Indonesia harus terus mengembangkan QRIS dan GPN, meskipun saat ini ada negosiasi dengan AS mengenai tarif resiprokal. QRIS dan GPN dianggap sangat penting dalam membangun kemandirian ekonomi digital serta memperkuat inklusi keuangan di dalam negeri. Pengurangan ketergantungan pada infrastruktur pembayaran asing juga menjadi salah satu manfaat dari kedua sistem tersebut. Bhima menyatakan bahwa dua sistem ini mampu menawarkan biaya transaksi yang lebih murah, sekaligus menjaga keamanan data keuangan nasional. "Peran QRIS harus terus ditingkatkan. Kita tidak perlu menindaklanjuti semua pokok permintaan dari AS, penting untuk selalu mempertimbangkan kepentingan domestik," ucapnya dalam wawancara terpisah pada tanggal 23 April 2025.
Bhima juga menambahkan bahwa kritik yang dilayangkan oleh AS berhubungan dengan persaingan di industri. "Dengan adanya QRIS, ketergantungan kita pada sistem pembayaran seperti Visa dan Mastercard akan menurun, dan hal ini berpotensi membuat tren penggunaan kartu kredit juga semakin menurun," ungkapnya.
Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan dari UPN Veteran Jakarta, mengusulkan beberapa langkah untuk mempertahankan QRIS dan GPN dalam negosiasi dengan AS. Achmad merekomendasikan agar BI melakukan konsultasi terbatas dengan perusahaan asing, tetapi tanpa mengorbankan prinsip kebijakan yang telah ditetapkan. Partisipasi asing dapat dipertimbangkan dalam pengembangan teknologi QRIS dan GPN, dengan syarat bahwa ada transfer pengetahuan serta penggunaan server yang berada di dalam negeri. Selain itu, aspek diplomasi ekonomi perlu diperkuat. QRIS dan GPN harus dilihat bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai peluang untuk kolaborasi. Menariknya, Achmad juga mengusulkan agar standar QRIS dapat dijadikan model untuk negara-negara berkembang lainnya, sehingga perusahaan-perusahaan asal AS yang ingin berekspansi ke Asia Tenggara harus beradaptasi dengan sistem yang ada.
Dalam pandangannya, pendekatan interoperabilitas bertahap bisa menjadi langkah strategis. Dengan menghubungkan QRIS dengan SGQR dari Singapura atau PromptPay dari Thailand terlebih dahulu sebelum melakukan integrasi yang lebih luas secara global, Indonesia dapat mengurangi kekhawatiran dari pihak AS dan sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di panggung internasional.
Sebelumnya, pemerintah AS telah menyampaikan keluhan terkait sistem pembayaran QRIS dan GPN melalui sebuah dokumen berjudul National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan oleh USTR pada tanggal 31 Maret 2025. Dalam laporan tersebut, AS menilai bahwa perusahaan-perusahaan asing, termasuk penyedia jasa pembayaran dan bank yang berasal dari AS, tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan QRIS dan GPN. Laporan ini dirilis hanya beberapa hari sebelum Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal yang akan menyasar sejumlah negara, termasuk Indonesia.